Oleh: Musonif Afandi, Direktur Eksekutif Actual Research Survey
GELOMBANG kritik publik terhadap DPR RI kembali menguat setelah seorang anggota dewan melontarkan kata-kata “orang tolol sedunia” bagi mereka yang menyuarakan pembubaran DPR. Ucapan itu bukan hanya merendahkan, tetapi juga menegaskan jarak psikologis yang kian lebar antara wakil rakyat dengan rakyat yang mereka wakili.
Bagi banyak orang, kata tersebut menyakitkan. Ini mencerminkan arogansi kekuasaan, anggota dewan lebih sibuk mempertahankan martabat institusi ketimbang mendengarkan kegelisahan publik.
Dari jauh di Denmark, seorang perempuan muda diaspora Indonesia, Salsa Erwina Hutagalung, ikut bersuara lantang. Kritiknya bukan sekadar respons emosional, melainkan artikulasi keresahan kolektif, DPR kian jauh dari aspirasi rakyat.
Bagi Salsa, kata “tolol” itu bukan sekadar penghinaan personal, melainkan cermin dari krisis representasi yang lebih dalam. Suaranya cepat menyebar di ruang digital dan menjelma menjadi simbol perlawanan baru, suara diaspora yang memantulkan jeritan rakyat di tanah air.
Fenomena ini menegaskan bahwa demokrasi kini tidak lagi terbatas ruang geografis. Warga negara di luar negeri, dengan akses informasi global, tetap memiliki keterikatan emosional dengan politik domestik. Kehadiran Salsa membuktikan bahwa ikatan politik antara diaspora dan tanah air tidak pernah terputus.
Kemarahan publik juga tidak lahir dalam ruang kosong. Selain kasus ujaran “tolol”, faktor yang memperbesar jurang kepercayaan adalah tunjangan DPR yang fantastis.
Anggota DPR menerima gaji pokok sekitar Rp 4,2 juta per bulan, tetapi dengan tambahan tunjangan kehormatan, perumahan, transportasi, kesehatan, dana reses, hingga bantuan aspirasi, totalnya bisa menembus ratusan juta per bulan. Bandingkan dengan rata-rata upah buruh nasional yang menurut BPS, Februari 2024, hanya sekitar Rp. 3,1 juta per bulan.
Jurang inilah yang membuat simbol perlawanan seperti Salsa relevan. Kritiknya mengandung dua makna sekaligus, yakni moral, karena rakyat dituduh “tolol” oleh wakilnya sendiri, dan material, karena ketimpangan kesejahteraan antara elite parlemen dan rakyat kian melebar.
Politik Simbolik
Dalam perspektif politik simbolik, kehadiran Salsa Erwina bukan sekadar ekspresi individual. Ia adalah simbol kolektif dari kekecewaan rakyat terhadap DPR.
Clifford Geertz menekankan bahwa simbol menghubungkan pengalaman sosial dengan makna bersama. Dengan kata lain, ketika publik marah, mereka membutuhkan figur yang mampu mewakili rasa itu. Salsa, seorang perempuan muda diaspora, telah menjadi figur tersebut.
Ada dimensi gender yang memperkuat simbol ini. Politik Indonesia masih didominasi suara laki-laki, baik di parlemen maupun ruang publik.
Kehadiran Salsa memberi pesan moral yang kuat, demokrasi harus lebih inklusif, dan suara perempuan tidak boleh dipinggirkan. Keberanian perempuan muda mengkritik kekuasaan adalah tanda bahwa ruang demokrasi kini semakin cair.
Lebih jauh, diaspora sebagai aktor politik membawa perspektif unik. Mereka menyaksikan praktik demokrasi di negara lain, membandingkannya dengan situasi di Indonesia, lalu menyuarakan kritik dengan cara yang sering kali lebih bebas.
Kritik Salsa dari Denmark mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia kini berada dalam sorotan transnasional. Rakyat di rantau pun berhak bersuara, karena konsekuensi dari kebijakan DPR pada akhirnya berdampak pada kehidupan mereka juga.
Pertanyaannya, apakah simbol seperti Salsa akan berhenti pada level imaji sesaat, atau berkembang menjadi energi gerakan lebih luas? Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa simbol sering kali menjadi pemicu perubahan nyata. Reformasi 1998 misalnya, diawali dengan simbol mahasiswa yang gugur, lalu memantik perubahan sistemik.
Salsa berpotensi menjadi pemantik kesadaran baru, rakyat tidak bisa terus diremehkan oleh elite politik. Namun, potensi ini hanya akan nyata bila simbol semacam ini tetap dijaga murni, tidak dikomodifikasi oleh kepentingan politik jangka pendek, dan mampu ditransformasikan menjadi agenda kolektif yang lebih besar.
DPR Harus Bercermin
Ucapan “orang tolol sedunia” seharusnya menjadi alarm keras bagi DPR. Kritik Salsa bukan sekadar soal kata-kata kasar, melainkan cermin kekecewaan mendalam terhadap lembaga legislatif.
DPR kini berada dalam krisis representasi serius, sebuah lembaga yang seharusnya menyambung lidah rakyat, tetapi justru semakin terputus dari rakyatnya.
Fasilitas mewah dan tunjangan fantastis hanya menambah bahan bakar bagi kemarahan publik. Di saat rakyat bergulat dengan biaya hidup yang kian tinggi, gaya hidup elite parlemen menegaskan jurang antara kuasa dan rakyat jelata.
Dalam situasi itu, simbol perlawanan seperti Salsa menjadi penting. Ia mengingatkan bahwa demokrasi tidak boleh dimonopoli oleh mereka yang duduk di kursi parlemen. Demokrasi adalah milik rakyat, termasuk mereka yang berada di rantau.
Jika DPR tidak segera berbenah, menghentikan arogansi verbal, merasionalisasi tunjangan, memperkuat transparansi, dan kembali mendengar suara publik, simbol-simbol perlawanan akan terus lahir. Setiap simbol baru hanya akan memperdalam krisis legitimasi DPR.
Fenomena Salsa menunjukkan dinamika baru demokrasi Indonesia, suara rakyat bisa datang dari luar negeri, dari perempuan muda, dari media digital, bahkan dari satu kalimat sederhana yang merepresentasikan rasa sakit kolektif.
Bila DPR bijak seharusnya memandang fenomena ini bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai cermin. Bila diabaikan, politik simbolik semacam ini justru bisa menjadi batu loncatan bagi delegitimasi lebih besar.
Demokrasi Indonesia hanya akan sehat bila DPR mampu merendahkan hati, membuka telinga, dan mengingat bahwa kedaulatan sejati berada di tangan rakyat, bukan di kursi empuk parlemen. (*)