11 September 2025, 18:18 PM WIB

Nepal Tanpa Pemerintahan, Revolusi Gen Z Gulingkan Presiden dan PM, Militer Ambil Alih Kekuasaan

METROTODAY, KATHMANDU – Nepal, negara yang dikenal dengan ketenangan pegunungan Himalaya, tiba-tiba diguncang krisis politik dan sosial yang mematikan.

Aksi protes besar-besaran yang dipicu oleh larangan media sosial berujung pada kerusuhan massal, kejatuhan pemerintahan, dan pengambilalihan kekuasaan oleh militer.

Segalanya dimulai pada 4 September, ketika pemerintah Nepal memblokir sejumlah situs media sosial ternama. Alasannya, platform-platform tersebut gagal mendaftar ke Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi.

Langkah ini segera memicu kemarahan publik, terutama Generasi Z (Gen Z), yang sangat bergantung pada media sosial untuk berkomunikasi dan berekspresi.

Puncak ketegangan terjadi pada Senin (8/9) ketika ribuan anak muda turun ke jalan di ibu kota, Kathmandu, memprotes pemblokiran tersebut.

Aksi yang dijuluki “Revolusi Gen Z” ini dengan cepat menyebar ke kota-kota besar lainnya.

Bentrokan tak terhindarkan. Pihak berwenang menggunakan meriam air, gas air mata, dan bahkan peluru tajam untuk membubarkan massa. Akibatnya, 19 pengunjuk rasa tewas dan ratusan lainnya luka-luka.

Meskipun larangan media sosial akhirnya dicabut, amarah massa tak surut. Sebaliknya, protes semakin memanas.

Pada Selasa (9/9), para pengunjuk rasa berhasil menerobos dan membakar gedung parlemen, kantor-kantor partai politik, dan bahkan kediaman para pemimpin tinggi, termasuk Kantor Presiden dan rumah Perdana Menteri KP Sharma Oli.

Di tengah kerusuhan yang tak terkendali, tiga menteri dilaporkan mengundurkan diri. Tak lama kemudian, Perdana Menteri Oli pun mengumumkan pengunduran dirinya dan resmi diterima oleh Presiden Ram Chandra Paudel.

Namun, pengunduran diri Oli tidak serta merta meredakan situasi. Kerusuhan terus berlanjut. Bahkan, dilaporkan setidaknya 1.500 tahanan melarikan diri dari penjara Nakkhu di Lalitpur, menambah kekacauan.

Di tengah situasi yang semakin genting, Presiden Ram Chandra Paudel menyatakan juga mundur.

Para perusuh kemudian mengeluarkan surat permohonan yang menyatakan bahwa negara berada di bawah kepemimpinan mereka, seraya menyerukan pembentukan “pemerintahan sipil yang diterima secara universal” dan penyelenggaraan pemilu segera.

Menghadapi kevakuman kekuasaan dan kekacauan yang meluas, militer Nepal mengambil langkah drastis. Pada Selasa malam, mereka mengambil alih kekuasaan. “Militer beroperasi di seluruh negeri,” lapor media setempat, SetoPati.

Para tentara dikerahkan untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban, mengevakuasi para menteri menggunakan helikopter, dan mengamankan properti publik. Seluruh bandara dilaporkan ditutup.

Jenderal Ashok Raj Singdel, komandan militer, menyerukan seluruh pihak untuk tenang dan menyelesaikan krisis melalui dialog.

Pernyataan serupa juga dikeluarkan oleh pejabat tinggi pemerintah dan militer, yang menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban dan menyerukan agar semua pihak menahan diri. (red)

METROTODAY, KATHMANDU – Nepal, negara yang dikenal dengan ketenangan pegunungan Himalaya, tiba-tiba diguncang krisis politik dan sosial yang mematikan.

Aksi protes besar-besaran yang dipicu oleh larangan media sosial berujung pada kerusuhan massal, kejatuhan pemerintahan, dan pengambilalihan kekuasaan oleh militer.

Segalanya dimulai pada 4 September, ketika pemerintah Nepal memblokir sejumlah situs media sosial ternama. Alasannya, platform-platform tersebut gagal mendaftar ke Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi.

Langkah ini segera memicu kemarahan publik, terutama Generasi Z (Gen Z), yang sangat bergantung pada media sosial untuk berkomunikasi dan berekspresi.

Puncak ketegangan terjadi pada Senin (8/9) ketika ribuan anak muda turun ke jalan di ibu kota, Kathmandu, memprotes pemblokiran tersebut.

Aksi yang dijuluki “Revolusi Gen Z” ini dengan cepat menyebar ke kota-kota besar lainnya.

Bentrokan tak terhindarkan. Pihak berwenang menggunakan meriam air, gas air mata, dan bahkan peluru tajam untuk membubarkan massa. Akibatnya, 19 pengunjuk rasa tewas dan ratusan lainnya luka-luka.

Meskipun larangan media sosial akhirnya dicabut, amarah massa tak surut. Sebaliknya, protes semakin memanas.

Pada Selasa (9/9), para pengunjuk rasa berhasil menerobos dan membakar gedung parlemen, kantor-kantor partai politik, dan bahkan kediaman para pemimpin tinggi, termasuk Kantor Presiden dan rumah Perdana Menteri KP Sharma Oli.

Di tengah kerusuhan yang tak terkendali, tiga menteri dilaporkan mengundurkan diri. Tak lama kemudian, Perdana Menteri Oli pun mengumumkan pengunduran dirinya dan resmi diterima oleh Presiden Ram Chandra Paudel.

Namun, pengunduran diri Oli tidak serta merta meredakan situasi. Kerusuhan terus berlanjut. Bahkan, dilaporkan setidaknya 1.500 tahanan melarikan diri dari penjara Nakkhu di Lalitpur, menambah kekacauan.

Di tengah situasi yang semakin genting, Presiden Ram Chandra Paudel menyatakan juga mundur.

Para perusuh kemudian mengeluarkan surat permohonan yang menyatakan bahwa negara berada di bawah kepemimpinan mereka, seraya menyerukan pembentukan “pemerintahan sipil yang diterima secara universal” dan penyelenggaraan pemilu segera.

Menghadapi kevakuman kekuasaan dan kekacauan yang meluas, militer Nepal mengambil langkah drastis. Pada Selasa malam, mereka mengambil alih kekuasaan. “Militer beroperasi di seluruh negeri,” lapor media setempat, SetoPati.

Para tentara dikerahkan untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban, mengevakuasi para menteri menggunakan helikopter, dan mengamankan properti publik. Seluruh bandara dilaporkan ditutup.

Jenderal Ashok Raj Singdel, komandan militer, menyerukan seluruh pihak untuk tenang dan menyelesaikan krisis melalui dialog.

Pernyataan serupa juga dikeluarkan oleh pejabat tinggi pemerintah dan militer, yang menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban dan menyerukan agar semua pihak menahan diri. (red)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/