METROTODAY, SIDOARJO – Bau menyengat dan pemandangan gunungan sampah bukan lagi menjadi hal asing bagi warga Desa Tambak Kalisogo, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Di situlah berdiri Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Griyo Mulyo. Tumpukan sampah yang berasal dari seluruh wilayah Sidoarjo itu memenuhi pekarangan rumah dan lahan kosong di sekitar TPA.
Kondisi tersebut terjadi akibat keterbatasan kapasitas TPA yang tidak lagi mampu menampung volume sampah harian. Sampah rumah tangga mendominasi, ditambah residu plastik dan anorganik yang sulit terurai.
Sebagian warga memanfaatkan pekarangan rumah sebagai lokasi pemilahan sampah. Aktivitas memilah plastik dan botol bekas telah menjadi rutinitas sehari-hari.
”Alhamdulillah, meski hanya sampah, tetapi bisa menghidupi keluarga. Untuk makan dan belanja kebutuhan sehari-hari,” kata Sri, seorang pemilah sampah. ”Tapi, risikonya bau dan kotor setiap hari,” imbuh dia.

Sri menggantungkan penghasilan dari barang-barang bekas yang dijual kembali. “Saya memilah botol bekas untuk diambil bagian ujungnya, lalu dipisahkan sesuai warnanya. Setelah itu diambil pemborong untuk diolah lagi,” jelasnya.
Bagi sebagian orang, sampah mungkin menjijikkan. Namun, bagi warga sekitar TPA, sampah juga menjadi sumber penghidupan. “Saya tiap pagi jam 08.00 sudah siap ambil sampah dari rumah-rumah warga. Kadang setiap hari, kadang dua kali seminggu, tergantung banyaknya sampah,” ujar Selamet, pengangkut sampah, Kamis (21/8/2025).
Warga tetap berusaha bertahan. Meski, mereka hidup berdampingan dengan bau tak sedap dan tumpukan sampah yang tak pernah habis. Sebagian menjadikan sampah sebagai sumber rezeki, sementara yang lain harus menutup hidung rapat-rapat demi bisa beraktivitas.
Permasalahan sampah di TPA Griyo Mulyo Jabon itu mencerminkan dilema yang dihadapi banyak daerah di Indonesia. Di satu sisi, keberadaan TPA menjadi solusi penumpukan sampah rumah tangga. Namun, di sisi lain, dampak lingkungan dan sosialnya harus ditanggung masyarakat sekitar. (ana/mg)