METROTODAY, SIDOARJO – Tidak banyak yang mengenal nama Marsinah ketika ia masih hidup. Ia bukan tokoh publik, bukan aktivis yang sering tampil di panggung, melainkan seorang buruh pabrik jam tangan di Sidoarjo yang dikenal pemalu, teliti, dan jarang menonjolkan diri. Namun keberanian perempuan muda ini melampaui batas zamannya, hingga akhirnya pemerintah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional tahun ini.
Penetapan itu menempatkan kembali sosok Marsinah ke ruang publik: siapa sebenarnya perempuan ini, dan bagaimana ia bisa menjadi simbol perjuangan buruh di Indonesia?
Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Nganjuk, Jawa Timur, dalam keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas. Karena sulitnya biaya hidup, ia dibesarkan oleh neneknya. Pendidikan terakhirnya hanya setingkat SMA, namun sejak remaja ia sudah terbiasa bekerja keras untuk membantu keluarga.
Keterbatasan pilihan membuat Marsinah bekerja dari satu pabrik ke pabrik lain di Jawa Timur, termasuk pabrik sepatu di Surabaya, sebelum akhirnya bekerja di PT Catur Putra Surya, pabrik jam tangan di Porong, Sidoarjo.
Bagi rekan-rekannya, Marsinah bukan tipe seseorang yang suka berbicara lantang. Ia lebih sering diam, tetapi dikenal disiplin, bertanggung jawab, dan sangat peka terhadap ketidakadilan.
Kehidupan sebagai buruh membuatnya merasakan langsung betapa beratnya bekerja dengan upah rendah, jam kerja panjang, dan tanpa jaminan sosial memadai.
Pada awal 1990-an, ketika Indonesia masih berada dalam kontrol kuat Orde Baru, kebebasan buruh sangat dibatasi. Aksi mogok dianggap ancaman, serikat buruh diawasi, dan suara kritis dibungkam.
Dalam situasi seperti itu, Gubernur Jawa Timur, Mayjen Soelarso, mengeluarkan imbauan agar perusahaan menaikkan upah sebesar 20 persen pada 1992. Meski hanya imbauan, hal tersebut menjadi pemantik bagi para buruh di Sidoarjo untuk meminta hak mereka.
Marsinah termasuk pekerja yang berani memperjuangkan imbauan itu diterapkan di pabriknya. Pada 3–4 Mei 1993, ia ikut mengorganisasi aksi mogok menuntut kenaikan upah dan pembentukan serikat buruh independen, dua tuntutan yang dianggap sensitif di bawah rezim saat itu.
Aksi tersebut mendapatkan intimidasi aparat militer, yang sejak awal telah mengancam para buruh agar tidak melakukan mogok.
Keberanian Marsinah, yang berangkat dari rasa tanggung jawab sosial, justru menyeretnya dalam tragedi. Pada 5 Mei 1993, ia menghilang usai aksi mogok. Tiga hari kemudian, tubuhnya ditemukan di sebuah gardu ronda di Desa Wilangan, Nganjuk, dalam kondisi mengenaskan.
Hasil investigasi lembaga independen menunjukkan tanda-tanda penyiksaan berat sebelum ia dibunuh.
Kasus itu mengguncang Indonesia. Meski beberapa orang sempat dijadikan tersangka, proses hukumnya dipenuhi kejanggalan.
Komnas HAM mencatat adanya indikasi kuat keterlibatan aparat, namun penyelidikan berulang kali terhambat. Hingga hari ini, pelaku penyiksaan dan pembunuhan Marsinah tidak pernah benar-benar diadili.
Setelah lebih dari tiga dekade berlalu, pemerintah akhirnya menetapkan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional, menempatkan sosok buruh muda ini sejajar dengan tokoh-tokoh besar lain dalam sejarah Indonesia.
Penghargaan tersebut menjadi pengakuan negara atas nilai perjuangan yang diperlihatkan Marsinah: keberanian, konsistensi, dan kemanusiaan yang melampaui latar belakangnya sebagai buruh pabrik sederhana.
Bagi banyak orang, Marsinah kini bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah gambaran nyata tentang bagaimana suara perempuan biasa dapat menggugah bangsa.
Seorang buruh yang hidup sederhana, dibesarkan dalam keterbatasan, tetapi memiliki keberanian luar biasa untuk memperjuangkan hal yang dianggap kecil: upah layak, hak berserikat, dan martabat pekerja.
Jejak hidup Marsinah mengingatkan bahwa pahlawan tidak selalu lahir dari panggung besar atau jabatan tinggi, kadang justru dari ruang kerja kecil, dari seseorang yang semula tidak dikenal, tetapi memilih untuk tidak diam ketika ketidakadilan terjadi. (amelia/red)

