4 November 2025, 9:33 AM WIB

Sekolah Rakyat, Langkah Pemerintah Wujudkan Pendidikan Merata dan Inklusif

METROTODAY, SIDAORJO – Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah mengoperasikan 165 Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia hingga September 2025.

Program ini menjadi langkah konkret pemerintah dalam memutus rantai kemiskinan ekstrem dan mengatasi ketimpangan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin.

Sekolah Rakyat merupakan salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran yang dijalankan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Program ini dirancang untuk menyediakan pendidikan gratis dan bermutu bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, terutama yang berasal dari kategori miskin ekstrem dan miskin berdasarkan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN).

“Mandat yang diberikan oleh presiden ke Kemensos melalui Inpres Nomor 8 itu adalah sekolah rakyat. Presiden berpikir bahwa siklus kemiskinan ini harus diputus, dan cara paling tepat adalah melalui jalur pendidikan,” ujar Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono di Kantor Kemensos, Jakarta, akhir pekan lalu.

Hingga September 2025, 165 Sekolah Rakyat rintisan telah beroperasi di berbagai daerah, meningkat signifikan dari 53 titik pada bulan Agustus. Jumlah ini melebihi target awal Presiden Prabowo yang menargetkan 100 sekolah pada tahun pertama masa pemerintahannya.

Sekolah-sekolah tersebut bersifat sementara dengan memanfaatkan gedung milik pemerintah daerah dan Kementerian Sosial yang direvitalisasi, sambil menunggu pembangunan gedung permanen di lahan seluas 8,2 hektare per sekolah yang akan dimulai pada November 2025.

Presiden Prabowo menegaskan bahwa tujuan utama program ini adalah memberi kesempatan setara bagi anak-anak dari keluarga miskin agar bisa mengubah masa depan mereka.

“Kalau bapaknya pemulung, anaknya tidak harus jadi pemulung. Kalau bapaknya tukang becak, anaknya tidak harus jadi tukang becak. Itu tugas negara menjemput anak-anak ini,” kata Prabowo dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR, 15 Agustus 2025.

Sekolah Rakyat menggunakan sistem boarding school (asrama penuh) agar siswa dapat belajar dalam lingkungan yang terpantau dan mendapat pembinaan menyeluruh. Kurikulum yang digunakan tetap mengikuti Kurikulum Nasional, namun disesuaikan dengan konteks sosial dan lokal setiap wilayah.

Program ini juga menerapkan sistem Multi Entry–Multi Exit agar proses belajar dapat menyesuaikan kesiapan fisik, psikologis, dan akademik siswa.

Selain pendidikan formal, para siswa juga mendapatkan pelatihan keterampilan, bimbingan karakter, hingga jaminan beasiswa kuliah dan pekerjaan setelah lulus. Kementerian Sosial bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi, salah satunya Universitas Ary Ginanjar (UAG) yang telah menyediakan beasiswa bagi 35 siswa Sekolah Rakyat untuk melanjutkan kuliah pada tahun 2027.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Abidin Fikri menilai, program Sekolah Rakyat menunjukkan komitmen nyata pemerintahan Prabowo-Gibran dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil.

“Sekolah Rakyat bukan sekadar program pendidikan, melainkan strategi holistik untuk mewujudkan amanat UUD 1945 dalam meningkatkan kesejahteraan umum. Pemerintah telah membuka harapan baru bagi ribuan keluarga miskin,” kata Abidin.

Meski menuai apresiasi, sejumlah pihak juga memberikan catatan kritis. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai bahwa Sekolah Rakyat masih belum optimal menjangkau anak-anak putus sekolah akibat kemiskinan.

“Sekolah Rakyat baru mampu menampung sekitar 0,33 persen dari total anak yang putus sekolah karena faktor ekonomi. Artinya, program ini belum sepenuhnya menjawab kebutuhan,” ujarnya.

Ubaid juga menekankan pentingnya desain pendidikan yang fleksibel dan berbasis komunitas agar lebih relevan dengan kebutuhan lokal.

“Sekolah Rakyat sebaiknya tidak semua berbentuk asrama. Model yang berbasis komunitas bisa membuat proses belajar lebih kontekstual dan tidak menimbulkan stigma eksklusif bagi anak-anak miskin,” tambahnya.

Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI Dini Rahmania menyoroti tantangan pada sisi tenaga pendidik. “Penyebaran guru dan wali asuh masih belum merata. Kami mendorong agar status dan insentif tenaga pendidik Sekolah Rakyat segera diperjelas,” kata Dini.

Pemerintah menargetkan pembangunan 500 Sekolah Rakyat hingga tahun 2029, dengan harapan setiap kabupaten dan kota di Indonesia memiliki minimal satu sekolah rakyat permanen.

Dengan segala pencapaiannya, Sekolah Rakyat Prabowo-Gibran menjadi simbol upaya pemerintah dalam membangun keadilan sosial melalui pendidikan.

Namun, efektivitasnya dalam jangka panjang akan sangat bergantung pada pemerataan tenaga pendidik, kesiapan infrastruktur, dan fleksibilitas sistem agar benar-benar mampu memutus rantai kemiskinan yang telah lama membelenggu anak-anak Indonesia. (amelia/red)

METROTODAY, SIDAORJO – Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah mengoperasikan 165 Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia hingga September 2025.

Program ini menjadi langkah konkret pemerintah dalam memutus rantai kemiskinan ekstrem dan mengatasi ketimpangan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin.

Sekolah Rakyat merupakan salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran yang dijalankan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Program ini dirancang untuk menyediakan pendidikan gratis dan bermutu bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, terutama yang berasal dari kategori miskin ekstrem dan miskin berdasarkan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN).

“Mandat yang diberikan oleh presiden ke Kemensos melalui Inpres Nomor 8 itu adalah sekolah rakyat. Presiden berpikir bahwa siklus kemiskinan ini harus diputus, dan cara paling tepat adalah melalui jalur pendidikan,” ujar Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono di Kantor Kemensos, Jakarta, akhir pekan lalu.

Hingga September 2025, 165 Sekolah Rakyat rintisan telah beroperasi di berbagai daerah, meningkat signifikan dari 53 titik pada bulan Agustus. Jumlah ini melebihi target awal Presiden Prabowo yang menargetkan 100 sekolah pada tahun pertama masa pemerintahannya.

Sekolah-sekolah tersebut bersifat sementara dengan memanfaatkan gedung milik pemerintah daerah dan Kementerian Sosial yang direvitalisasi, sambil menunggu pembangunan gedung permanen di lahan seluas 8,2 hektare per sekolah yang akan dimulai pada November 2025.

Presiden Prabowo menegaskan bahwa tujuan utama program ini adalah memberi kesempatan setara bagi anak-anak dari keluarga miskin agar bisa mengubah masa depan mereka.

“Kalau bapaknya pemulung, anaknya tidak harus jadi pemulung. Kalau bapaknya tukang becak, anaknya tidak harus jadi tukang becak. Itu tugas negara menjemput anak-anak ini,” kata Prabowo dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR, 15 Agustus 2025.

Sekolah Rakyat menggunakan sistem boarding school (asrama penuh) agar siswa dapat belajar dalam lingkungan yang terpantau dan mendapat pembinaan menyeluruh. Kurikulum yang digunakan tetap mengikuti Kurikulum Nasional, namun disesuaikan dengan konteks sosial dan lokal setiap wilayah.

Program ini juga menerapkan sistem Multi Entry–Multi Exit agar proses belajar dapat menyesuaikan kesiapan fisik, psikologis, dan akademik siswa.

Selain pendidikan formal, para siswa juga mendapatkan pelatihan keterampilan, bimbingan karakter, hingga jaminan beasiswa kuliah dan pekerjaan setelah lulus. Kementerian Sosial bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi, salah satunya Universitas Ary Ginanjar (UAG) yang telah menyediakan beasiswa bagi 35 siswa Sekolah Rakyat untuk melanjutkan kuliah pada tahun 2027.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Abidin Fikri menilai, program Sekolah Rakyat menunjukkan komitmen nyata pemerintahan Prabowo-Gibran dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil.

“Sekolah Rakyat bukan sekadar program pendidikan, melainkan strategi holistik untuk mewujudkan amanat UUD 1945 dalam meningkatkan kesejahteraan umum. Pemerintah telah membuka harapan baru bagi ribuan keluarga miskin,” kata Abidin.

Meski menuai apresiasi, sejumlah pihak juga memberikan catatan kritis. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai bahwa Sekolah Rakyat masih belum optimal menjangkau anak-anak putus sekolah akibat kemiskinan.

“Sekolah Rakyat baru mampu menampung sekitar 0,33 persen dari total anak yang putus sekolah karena faktor ekonomi. Artinya, program ini belum sepenuhnya menjawab kebutuhan,” ujarnya.

Ubaid juga menekankan pentingnya desain pendidikan yang fleksibel dan berbasis komunitas agar lebih relevan dengan kebutuhan lokal.

“Sekolah Rakyat sebaiknya tidak semua berbentuk asrama. Model yang berbasis komunitas bisa membuat proses belajar lebih kontekstual dan tidak menimbulkan stigma eksklusif bagi anak-anak miskin,” tambahnya.

Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI Dini Rahmania menyoroti tantangan pada sisi tenaga pendidik. “Penyebaran guru dan wali asuh masih belum merata. Kami mendorong agar status dan insentif tenaga pendidik Sekolah Rakyat segera diperjelas,” kata Dini.

Pemerintah menargetkan pembangunan 500 Sekolah Rakyat hingga tahun 2029, dengan harapan setiap kabupaten dan kota di Indonesia memiliki minimal satu sekolah rakyat permanen.

Dengan segala pencapaiannya, Sekolah Rakyat Prabowo-Gibran menjadi simbol upaya pemerintah dalam membangun keadilan sosial melalui pendidikan.

Namun, efektivitasnya dalam jangka panjang akan sangat bergantung pada pemerataan tenaga pendidik, kesiapan infrastruktur, dan fleksibilitas sistem agar benar-benar mampu memutus rantai kemiskinan yang telah lama membelenggu anak-anak Indonesia. (amelia/red)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/