4 November 2025, 10:42 AM WIB

Ketika Tekanan Tidak Lagi Terlihat: Krisis Kesehatan Mental di Kampus Indonesia

Oleh: Albard Khan, Pemerhati Pendidikan, Alumnus Master of Educational Research, Evaluation and Assessment dari Flinders University, South Australia

SETIAP 10 Oktober, linimasa kita dipenuhi poster hijau toska yang berisi ajakan untuk “berbicara”, menghapus stigma, menjaga diri dan kawan. Saya membacanya sebagai kartu pos tahunan yang jadi pengingat bahwa kesehatan mental bukan isu pinggiran, melainkan realitas yang bercokol di kelas-kelas kuliah, grup WhatsApp akademik, dan obrolan sunyi di kamar kos setelah lampu dimatikan.

Tahun-tahun terakhir, kita kehilangan terlalu banyak mahasiswa, anak-anak muda yang semestinya sedang menulis bab pertama hidupnya, bukan epilog. Di balik poster dan jargon, ada pertanyaan yang mengganggu, yaitu apa yang sebenarnya terjadi di kampus-kampus Indonesia?

Pada malam-malam panjang menjelang ujian, saya sering membayangkan ribuan kepala di kota-kota kampus seperti Yogyakarta, Malang, Semarang, Depok, dan Surabaya, menunduk di depan layar. Ada yang menetralkan kecemasan dengan kopi saset, ada yang melawan sunyi dengan scroll tanpa henti.

“Nanti kalau jeblok?” tanya seseorang pada dirinya sendiri; “Kalau Ayah kecewa?” tanya yang lain. Di pagi hari, kita membaca kabar duka; di kolom komentar, kita melihat bangsa ini bertengkar tentang “generasi stroberi”. Dalam hiruk-pikuk itu, saya ingin mengajak kita menarik napas panjang. Menatap data, mendengar cerita, dan bertanya ulang apa yang bisa kita ubah di kampus, di rumah, di linimasa, agar 10 Oktober bukan sekadar ritual tahunan.

Krisis yang Tak Selalu Terlihat

Angka resmi menunjukkan lonjakan tajam kasus bunuh diri yang terdokumentasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2020, sekitar enam ratusan kasus tercatat. Pada 2023, angka itu menembus lebih dari seribu dua ratus, kenaikan yang tidak bisa kita anggap kebetulan.

Para peneliti mengingatkan, angka sesungguhnya kemungkinan jauh lebih tinggi, karena stigma dan cara pencatatan membuat banyak kejadian disembunyikan di balik eufemisme.

Di kampus, survei lintas universitas pada 2024–2025 memperlihatkan gambaran yang mencemaskan, yakni sepertiga mahasiswa pernah merasakan keinginan untuk mati. Lebih dari satu dari sepuluh pernah serius mempertimbangkan upaya bunuh diri. Ini bukan anomali, melainkan pola.

Mengapa tak selalu terlihat? Karena mahasiswa belajar menjadi aktor yang andal. Mereka bisa lulus presentasi grup, bercanda saat foto bareng, dan tetap menyerahkan tugas tepat waktu, sembari membawa beban yang tidak kita lihat.

Di sisi lain, banyak kampus belum punya mekanisme pemantauan rutin terhadap kesejahteraan psikologis mahasiswanya. Data terfragmentasi, layanan konseling kewalahan, dan publik kerap baru “sadar” setelah tragedi terjadi. Itu sebabnya, setiap angka yang berhasil kita tarik ke permukaan terasa berat. Setiap satu kasus adalah sebuah dunia tersendiri.

Tekanan Akademik & Ekspektasi di Rumah

Mari mulai dari ruang yang paling familiar, yaitu nilai. Di SMA, banyak anak jadi “bintang kelas”. Mereka tiba di perguruan tinggi dan mendadak merasakan “grade shock”. Sistem yang berbeda, kompetisi yang ketat, dosen yang menuntut, bahan bacaan yang tak berujung.

Satu nilai jeblok tidak hanya menurunkan IP, tapi mengguncang identitas diri, “Kalau selama ini aku ‘si pintar’, maka kegagalan ini berarti apa?” Ketika seluruh harga diri bertumpu pada angka, maka angka-angka itu mudah berubah menjadi palu.

Di rumah, meski jarak sering memisahkan kos dan ruang keluarga, ekspektasi ikut hadir sebagai notifikasi di ponsel. Orang tua ingin yang terbaik, itu benar. Tetapi ungkapan “Ayah sudah bayar mahal” atau “Ibu malu sama tetangga” bisa berubah menjadi beban yang tak tertanggungkan, terutama bagi anak yang perfeksionis.

Dalam beberapa kisah tragis, kita membaca catatan penyesalan. Anak merasa “mengecewakan keluarga” karena tidak masuk jurusan impian atau gagal pada ujian penting. Ini bukan cerita tentang satu teguran yang “langsung” memicu keputusan ekstrem. Ini tentang tahun-tahun yang terakumulasi, rasa bersalah yang mengeras, dan kepercayaan diri yang terkikis pelan.

Kita juga perlu menyebut hal yang jarang disebut, yaitu fungsi keluarga. Ada anak yang tumbuh dalam rumah yang penuh cinta dan bisa pulang untuk bercerita, ada pula yang pulang ke kesunyian, atau konflik, atau kekerasan verbal yang dibungkus alasan “mendidik”. Pengasuhan yang hanya berisi perintah dan celaan membuat anak belajar menyembunyikan luka.

Di bangku kuliah, luka itu mudah bertemu pemicu berupa tugas yang menumpuk, komentar pedas dosen, atau kabar buruk soal biaya. Di sini, “nilai jeblok” bukan sebab tunggal; ia adalah residu dari dinamika yang lebih dalam.

“Generasi Stroberi”: Label yang Menutup Percakapan

Media dan warganet kita punya kosakata yang tajam. “Generasi stroberi”, manis di luar, mudah memar di dalam, menjadi label yang cepat laku tiap kali muncul berita duka. Ia memberi penjelasan instan bahwa “mereka rapuh.”

Masalahnya, penjelasan instan sering mematikan percakapan. Ia membuat kita berhenti bertanya, rapuh di hadapan apa? Dalam ekologi tekanan hari ini, yakni biaya hidup, pasar kerja yang tak pasti, kurikulum padat, budaya perbandingan tanpa henti di media sosial, mudah memar bukan sekadar soal karakter, melainkan struktur yang menggesek kulit muda saban hari.

Ironisnya, istilah “stroberi” kerap disitir untuk menyalahkan pola asuh, misalnya orang tua yang terlalu melindungi, tidak melatih anak menghadapi gagal. Ada benarnya, dalam batas tertentu. Namun menempelkan stigma pada seluruh angkatan hanya memperdalam jurang antar generasi dan membuat anak enggan bicara. Banyak mahasiswa justru menunjukkan ketangguhan.

Mereka mencari bantuan, membangun jejaring dukungan, dan mengorganisir ruang aman di kampus. Bila ada yang runtuh, sering kali bukan karena “lembek”, melainkan karena bebannya benar-benar melampaui kapasitas dan jaring pengaman yang semestinya menahan mereka berlubang.

Lebih berguna daripada melabeli adalah membangun kosakata baru yang mengakui peran struktur (tekanan sistem akademik, ekonomi, budaya kampus) dan sekaligus memberi ruang bagi agensi (kemampuan anak muda belajar, bangkit, dan berjejaring). “Stroberi” tidak membantu kita merancang solusi. Mendengar, memetakan, dan berbenah, adalah pilihan yang benar. Tapi itu baru langkah awal.

Hidup Digital: Koneksi yang Menguatkan, Sorotan yang Melukai

Hampir semua mahasiswa kita hidup di layar. Kuliah, tugas, kerja kelompok, hiburan, curhat, semuanya berlapis notifikasi. Media sosial memang bisa menjadi ruang untuk menemukan komunitas, belajar, bahkan saling menolong. Tetapi media sosial juga pabrik perbandingan yang efisien. Stories menampilkan prestasi teman, beasiswa orang lain, hubungan yang tampak sempurna. Lama-kelamaan, algoritma mengikat kita pada cermin yang memantulkan citra bahwa “aku tertinggal.” Pada jam-jam gelap, cermin ini menjadi ruang gema pikiran yang buruk.

Cyberbullying menambahkan garam pada luka. Mahasiswa bisa “dirundung” bukan di halaman kampus, melainkan di kolom komentar publik yang tak pernah tidur. Sekali rumor beredar, batas aman runtuh.

Ponsel yang mestinya alat belajar berubah menjadi sumber ancaman. Negara dan platform mencoba menambal dengan tombol lapor, pengalihan ke hotline, moderasi konten.

Namun literasi digital dan kultur empati belum bisa disubkontrakkan ke algoritma. Keduanya harus diajarkan, dilatih, dan dicontohkan oleh kampus, media, dan kita semua.

Jejak pandemi juga belum hilang. Generasi yang masuk kuliah di 2020–2021 memulai dengan layar, bukan di ruang kelas. Banyak yang kembali ke kampus tanpa sempat membangun pertemanan, tanpa ritme sehat berupa tidur–belajar–beristirahat.

Mode “selalu siaga”, yakni siap mengerjakan tugas sampai dini hari, membuat tidur berantakan, dan kita tahu kurang tidur memperburuk cemas serta depresi. Dalam ekologi perhatian yang berebut detik, menjaga pola tidur menjadi keterampilan bertahan hidup.

Ketika Tekanan Menjadi Sunyi yang Memekakkan

Di Surabaya, awal tahun ini, publik membaca satu kasus yang menyayat hati. Seorang mahasiswa muda ditemukan meninggal di kamar kos. Catatan yang ditinggalkannya, yang sayangnya sempat dikutip media terlalu detail, mengungkap rasa kecewa besar pada diri sendiri dan ketakutan telah mengecewakan orang tua karena jurusan impian tak teraih.

Saya tidak ingin mengulang sensasi. Yang lebih penting adalah pelajarannya. Di balik satu keputusan tragis, ada jalan panjang, ambisi yang menumpuk, transfer kampus yang melelahkan, harapan yang patah, dan mungkin depresi yang tak sempat tertangani. Lalu media bersuara. Sebagian empatik, sebagian menyederhanakan. Publik terbelah antara mereka yang marah pada sistem dan mereka yang mengejek “pendek nalar”. Kita bisa lebih baik dari itu.

Respon kampus setempat berada di koridor yang benar. Mereka menyampaikan duka dengan hormat, memperkuat layanan konseling, menggelar diskusi tentang kesehatan mental, dan meninjau kebijakan akademik yang berisiko memperparah tekanan. Ini bukan sekadar “PR” institusi. Ini infrastruktur penyelamatan yang seharusnya dibangun sebelum ada kabar duka. Postvensi, cara kampus merawat komunitas setelah tragedi, bisa menentukan apakah luka akan sembuh atau jusru menular.

Pelajaran lainnya adalah soal cara kita bercerita. Jurnalisme yang bertanggung jawab tidak membeberkan metode, tidak meromantisasi, tidak mengedarkan catatan terakhir sebagai komoditas klik. Jurnalisme yang bertanggung jawab menambahkan sumber bantuan dan harapan yang mungkin menjadi jembatan bagi seseorang yang sedang di tepi jurang.

Dewan Pers mulai menegakkan ketentuan ini, sementara kita semua, sebagai pembaca dan pembagi tautan, punya peran menahan diri.

Apa yang Bisa Kita Ubah: Kampus, Keluarga, Platform, Teman

Di kampus, langkah pertama adalah memperkuat layanan konseling. Bukan hanya ada, tetapi mudah diakses, tanpa stigma, dan cukup tenaga profesionalnya. Unit ini perlu keluar dari ruangan. Unit ini perlu hadir pada saat orientasi, menyapa di pekan ujian, dan membuka kanal daring.

Dosen wali, pengasuh asrama, dan tenaga kependidikan bisa dilatih sebagai “gatekeeper” untuk mengenali tanda bahaya, membuka percakapan yang aman, dan menghubungkan ke pertolongan.

Kebijakan akademik juga bisa dirombak dengan memberi peluang remed dan retake yang adil, proses banding nilai yang jelas, opsi cuti karena alasan kesehatan mental tanpa stigma, serta praktik penilaian yang tidak menggantungkan seluruh nasib pada satu ujian besar. Kultur kelas yang memuji proses, bukan hanya hasil, akan menjadi udara segar.

Di rumah, orang tua butuh panduan yang konkret. Memuji usaha, bukan sekadar nilai; mendengarkan sebelum menilai; dan menyampaikan cinta yang tak bersyarat. Ada kalanya, satu kalimat sederhana seperti: “Kalau kamu butuh waktu, istirahatlah; kita cari jalan keluarnya bersama” lebih menyelamatkan daripada seribu nasihat.

Jika anak memberi sinyal bahaya seperti tidur berantakan, menarik diri, atau mengucapkan kalimat putus asa, orang tua perlu tahu jalur rujukannya, yaitu layanan kampus, fasilitas kesehatan, atau hotline krisis. Agama dan komunitas spiritual bisa menjadi pelindung yang kuat, selama disampaikan dengan empati, bukan rasa bersalah.

Di platform digital, tombol lapor dan pengalihan ke bantuan harus berfungsi cepat, moderasi perlu lebih peka pada konten berisiko, dan alarm bisa dipasang pada pencarian istilah berbahaya. Bukan untuk membungkam, melainkan untuk menerobos ruang gema yang tertutup rapat.

Di tingkat negara, regulasi yang menata pelaporan media dan membangun pencatatan nasional untuk pemantauan kasus adalah fondasi penting. Namun lagi-lagi, algoritma tidak bisa diandalkan. Kita memerlukan literasi dan budaya yang menolak perundungan, menormalisasi minta tolong, dan menghargai pemulihan sebagai narasi arus utama.

Di antara teman, yang paling ampuh sering kali adalah hal paling sederhana, yakni memastikan ada satu orang yang bisa dihubungi pada pukul dua dini hari ketika pikiran gelap datang. Kita bisa belajar kalimat-kalimat kunci: “Aku mendengarkanmu. Kamu tidak sendirian. Mau kalau kita cari bantuan bareng?”

Kita bisa menanyakan langsung, tanpa bertele-tele, jika melihat tanda bahaya: “Apakah kamu sedang berpikir untuk menyakiti diri?” Pertanyaan itu tidak untuk memberi ide. Pertanyaan itu justru membuka pintu untuk mencegah.

Jika teman berkata ya, kita tahu langkah berikutnya, yaitu tetap menemaninya, singkirkan aksesnya terhadap alat atau benda yang berbahaya, dan hubungi layanan profesional.

Dari 10 Oktober ke 11 Oktober, dan Seterusnya

Kita sering menaruh harapan pada tanggal-tanggal simbolik. Tetapi pekerjaan sesungguhnya selalu berlangsung pada 11 Oktober, dan semua hari-hari biasa setelahnya, saat kelas kembali berjalan, notifikasi kembali berdenting, dan anak-anak muda kembali membentuk masa depannya di bawah lampu neon perpustakaan.

Di sanalah kebijakan diuji, budaya diuji, dan janji-janji “peduli kesehatan mental” diuji. Kita bisa memilih menjadi bangsa yang mudah melabeli, atau bangsa yang sabar membangun jaring pengaman.

Jika 10 Oktober adalah alarm, maka respons kita adalah kurikulum yang manusiawi, layanan yang ramah, keluarga yang belajar ulang berbicara, platform yang tidak cuci tangan, dan media yang menjaga.

Untuk kamu yang membaca ini dalam gelap, yang mungkin sedang bergulat dengan pikiran yang menakutkan, ketahuilah bahwa dunia ini lebih luas daripada sebuah nilai, lebih kaya daripada satu jurusan, lebih panjang daripada satu semester.

Ada bantuan yang nyata dan orang-orang yang ingin menolong. Bertahanlah. Hubungi 119 ext. 8 (hotline kesehatan mental Kemenkes) atau layanan konseling kampusmu. Jika situasimu mendesak, minta seseorang menemanimu ke IGD terdekat sekarang juga. Kamu tidak sendirian. (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh: Albard Khan, Pemerhati Pendidikan, Alumnus Master of Educational Research, Evaluation and Assessment dari Flinders University, South Australia

SETIAP 10 Oktober, linimasa kita dipenuhi poster hijau toska yang berisi ajakan untuk “berbicara”, menghapus stigma, menjaga diri dan kawan. Saya membacanya sebagai kartu pos tahunan yang jadi pengingat bahwa kesehatan mental bukan isu pinggiran, melainkan realitas yang bercokol di kelas-kelas kuliah, grup WhatsApp akademik, dan obrolan sunyi di kamar kos setelah lampu dimatikan.

Tahun-tahun terakhir, kita kehilangan terlalu banyak mahasiswa, anak-anak muda yang semestinya sedang menulis bab pertama hidupnya, bukan epilog. Di balik poster dan jargon, ada pertanyaan yang mengganggu, yaitu apa yang sebenarnya terjadi di kampus-kampus Indonesia?

Pada malam-malam panjang menjelang ujian, saya sering membayangkan ribuan kepala di kota-kota kampus seperti Yogyakarta, Malang, Semarang, Depok, dan Surabaya, menunduk di depan layar. Ada yang menetralkan kecemasan dengan kopi saset, ada yang melawan sunyi dengan scroll tanpa henti.

“Nanti kalau jeblok?” tanya seseorang pada dirinya sendiri; “Kalau Ayah kecewa?” tanya yang lain. Di pagi hari, kita membaca kabar duka; di kolom komentar, kita melihat bangsa ini bertengkar tentang “generasi stroberi”. Dalam hiruk-pikuk itu, saya ingin mengajak kita menarik napas panjang. Menatap data, mendengar cerita, dan bertanya ulang apa yang bisa kita ubah di kampus, di rumah, di linimasa, agar 10 Oktober bukan sekadar ritual tahunan.

Krisis yang Tak Selalu Terlihat

Angka resmi menunjukkan lonjakan tajam kasus bunuh diri yang terdokumentasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2020, sekitar enam ratusan kasus tercatat. Pada 2023, angka itu menembus lebih dari seribu dua ratus, kenaikan yang tidak bisa kita anggap kebetulan.

Para peneliti mengingatkan, angka sesungguhnya kemungkinan jauh lebih tinggi, karena stigma dan cara pencatatan membuat banyak kejadian disembunyikan di balik eufemisme.

Di kampus, survei lintas universitas pada 2024–2025 memperlihatkan gambaran yang mencemaskan, yakni sepertiga mahasiswa pernah merasakan keinginan untuk mati. Lebih dari satu dari sepuluh pernah serius mempertimbangkan upaya bunuh diri. Ini bukan anomali, melainkan pola.

Mengapa tak selalu terlihat? Karena mahasiswa belajar menjadi aktor yang andal. Mereka bisa lulus presentasi grup, bercanda saat foto bareng, dan tetap menyerahkan tugas tepat waktu, sembari membawa beban yang tidak kita lihat.

Di sisi lain, banyak kampus belum punya mekanisme pemantauan rutin terhadap kesejahteraan psikologis mahasiswanya. Data terfragmentasi, layanan konseling kewalahan, dan publik kerap baru “sadar” setelah tragedi terjadi. Itu sebabnya, setiap angka yang berhasil kita tarik ke permukaan terasa berat. Setiap satu kasus adalah sebuah dunia tersendiri.

Tekanan Akademik & Ekspektasi di Rumah

Mari mulai dari ruang yang paling familiar, yaitu nilai. Di SMA, banyak anak jadi “bintang kelas”. Mereka tiba di perguruan tinggi dan mendadak merasakan “grade shock”. Sistem yang berbeda, kompetisi yang ketat, dosen yang menuntut, bahan bacaan yang tak berujung.

Satu nilai jeblok tidak hanya menurunkan IP, tapi mengguncang identitas diri, “Kalau selama ini aku ‘si pintar’, maka kegagalan ini berarti apa?” Ketika seluruh harga diri bertumpu pada angka, maka angka-angka itu mudah berubah menjadi palu.

Di rumah, meski jarak sering memisahkan kos dan ruang keluarga, ekspektasi ikut hadir sebagai notifikasi di ponsel. Orang tua ingin yang terbaik, itu benar. Tetapi ungkapan “Ayah sudah bayar mahal” atau “Ibu malu sama tetangga” bisa berubah menjadi beban yang tak tertanggungkan, terutama bagi anak yang perfeksionis.

Dalam beberapa kisah tragis, kita membaca catatan penyesalan. Anak merasa “mengecewakan keluarga” karena tidak masuk jurusan impian atau gagal pada ujian penting. Ini bukan cerita tentang satu teguran yang “langsung” memicu keputusan ekstrem. Ini tentang tahun-tahun yang terakumulasi, rasa bersalah yang mengeras, dan kepercayaan diri yang terkikis pelan.

Kita juga perlu menyebut hal yang jarang disebut, yaitu fungsi keluarga. Ada anak yang tumbuh dalam rumah yang penuh cinta dan bisa pulang untuk bercerita, ada pula yang pulang ke kesunyian, atau konflik, atau kekerasan verbal yang dibungkus alasan “mendidik”. Pengasuhan yang hanya berisi perintah dan celaan membuat anak belajar menyembunyikan luka.

Di bangku kuliah, luka itu mudah bertemu pemicu berupa tugas yang menumpuk, komentar pedas dosen, atau kabar buruk soal biaya. Di sini, “nilai jeblok” bukan sebab tunggal; ia adalah residu dari dinamika yang lebih dalam.

“Generasi Stroberi”: Label yang Menutup Percakapan

Media dan warganet kita punya kosakata yang tajam. “Generasi stroberi”, manis di luar, mudah memar di dalam, menjadi label yang cepat laku tiap kali muncul berita duka. Ia memberi penjelasan instan bahwa “mereka rapuh.”

Masalahnya, penjelasan instan sering mematikan percakapan. Ia membuat kita berhenti bertanya, rapuh di hadapan apa? Dalam ekologi tekanan hari ini, yakni biaya hidup, pasar kerja yang tak pasti, kurikulum padat, budaya perbandingan tanpa henti di media sosial, mudah memar bukan sekadar soal karakter, melainkan struktur yang menggesek kulit muda saban hari.

Ironisnya, istilah “stroberi” kerap disitir untuk menyalahkan pola asuh, misalnya orang tua yang terlalu melindungi, tidak melatih anak menghadapi gagal. Ada benarnya, dalam batas tertentu. Namun menempelkan stigma pada seluruh angkatan hanya memperdalam jurang antar generasi dan membuat anak enggan bicara. Banyak mahasiswa justru menunjukkan ketangguhan.

Mereka mencari bantuan, membangun jejaring dukungan, dan mengorganisir ruang aman di kampus. Bila ada yang runtuh, sering kali bukan karena “lembek”, melainkan karena bebannya benar-benar melampaui kapasitas dan jaring pengaman yang semestinya menahan mereka berlubang.

Lebih berguna daripada melabeli adalah membangun kosakata baru yang mengakui peran struktur (tekanan sistem akademik, ekonomi, budaya kampus) dan sekaligus memberi ruang bagi agensi (kemampuan anak muda belajar, bangkit, dan berjejaring). “Stroberi” tidak membantu kita merancang solusi. Mendengar, memetakan, dan berbenah, adalah pilihan yang benar. Tapi itu baru langkah awal.

Hidup Digital: Koneksi yang Menguatkan, Sorotan yang Melukai

Hampir semua mahasiswa kita hidup di layar. Kuliah, tugas, kerja kelompok, hiburan, curhat, semuanya berlapis notifikasi. Media sosial memang bisa menjadi ruang untuk menemukan komunitas, belajar, bahkan saling menolong. Tetapi media sosial juga pabrik perbandingan yang efisien. Stories menampilkan prestasi teman, beasiswa orang lain, hubungan yang tampak sempurna. Lama-kelamaan, algoritma mengikat kita pada cermin yang memantulkan citra bahwa “aku tertinggal.” Pada jam-jam gelap, cermin ini menjadi ruang gema pikiran yang buruk.

Cyberbullying menambahkan garam pada luka. Mahasiswa bisa “dirundung” bukan di halaman kampus, melainkan di kolom komentar publik yang tak pernah tidur. Sekali rumor beredar, batas aman runtuh.

Ponsel yang mestinya alat belajar berubah menjadi sumber ancaman. Negara dan platform mencoba menambal dengan tombol lapor, pengalihan ke hotline, moderasi konten.

Namun literasi digital dan kultur empati belum bisa disubkontrakkan ke algoritma. Keduanya harus diajarkan, dilatih, dan dicontohkan oleh kampus, media, dan kita semua.

Jejak pandemi juga belum hilang. Generasi yang masuk kuliah di 2020–2021 memulai dengan layar, bukan di ruang kelas. Banyak yang kembali ke kampus tanpa sempat membangun pertemanan, tanpa ritme sehat berupa tidur–belajar–beristirahat.

Mode “selalu siaga”, yakni siap mengerjakan tugas sampai dini hari, membuat tidur berantakan, dan kita tahu kurang tidur memperburuk cemas serta depresi. Dalam ekologi perhatian yang berebut detik, menjaga pola tidur menjadi keterampilan bertahan hidup.

Ketika Tekanan Menjadi Sunyi yang Memekakkan

Di Surabaya, awal tahun ini, publik membaca satu kasus yang menyayat hati. Seorang mahasiswa muda ditemukan meninggal di kamar kos. Catatan yang ditinggalkannya, yang sayangnya sempat dikutip media terlalu detail, mengungkap rasa kecewa besar pada diri sendiri dan ketakutan telah mengecewakan orang tua karena jurusan impian tak teraih.

Saya tidak ingin mengulang sensasi. Yang lebih penting adalah pelajarannya. Di balik satu keputusan tragis, ada jalan panjang, ambisi yang menumpuk, transfer kampus yang melelahkan, harapan yang patah, dan mungkin depresi yang tak sempat tertangani. Lalu media bersuara. Sebagian empatik, sebagian menyederhanakan. Publik terbelah antara mereka yang marah pada sistem dan mereka yang mengejek “pendek nalar”. Kita bisa lebih baik dari itu.

Respon kampus setempat berada di koridor yang benar. Mereka menyampaikan duka dengan hormat, memperkuat layanan konseling, menggelar diskusi tentang kesehatan mental, dan meninjau kebijakan akademik yang berisiko memperparah tekanan. Ini bukan sekadar “PR” institusi. Ini infrastruktur penyelamatan yang seharusnya dibangun sebelum ada kabar duka. Postvensi, cara kampus merawat komunitas setelah tragedi, bisa menentukan apakah luka akan sembuh atau jusru menular.

Pelajaran lainnya adalah soal cara kita bercerita. Jurnalisme yang bertanggung jawab tidak membeberkan metode, tidak meromantisasi, tidak mengedarkan catatan terakhir sebagai komoditas klik. Jurnalisme yang bertanggung jawab menambahkan sumber bantuan dan harapan yang mungkin menjadi jembatan bagi seseorang yang sedang di tepi jurang.

Dewan Pers mulai menegakkan ketentuan ini, sementara kita semua, sebagai pembaca dan pembagi tautan, punya peran menahan diri.

Apa yang Bisa Kita Ubah: Kampus, Keluarga, Platform, Teman

Di kampus, langkah pertama adalah memperkuat layanan konseling. Bukan hanya ada, tetapi mudah diakses, tanpa stigma, dan cukup tenaga profesionalnya. Unit ini perlu keluar dari ruangan. Unit ini perlu hadir pada saat orientasi, menyapa di pekan ujian, dan membuka kanal daring.

Dosen wali, pengasuh asrama, dan tenaga kependidikan bisa dilatih sebagai “gatekeeper” untuk mengenali tanda bahaya, membuka percakapan yang aman, dan menghubungkan ke pertolongan.

Kebijakan akademik juga bisa dirombak dengan memberi peluang remed dan retake yang adil, proses banding nilai yang jelas, opsi cuti karena alasan kesehatan mental tanpa stigma, serta praktik penilaian yang tidak menggantungkan seluruh nasib pada satu ujian besar. Kultur kelas yang memuji proses, bukan hanya hasil, akan menjadi udara segar.

Di rumah, orang tua butuh panduan yang konkret. Memuji usaha, bukan sekadar nilai; mendengarkan sebelum menilai; dan menyampaikan cinta yang tak bersyarat. Ada kalanya, satu kalimat sederhana seperti: “Kalau kamu butuh waktu, istirahatlah; kita cari jalan keluarnya bersama” lebih menyelamatkan daripada seribu nasihat.

Jika anak memberi sinyal bahaya seperti tidur berantakan, menarik diri, atau mengucapkan kalimat putus asa, orang tua perlu tahu jalur rujukannya, yaitu layanan kampus, fasilitas kesehatan, atau hotline krisis. Agama dan komunitas spiritual bisa menjadi pelindung yang kuat, selama disampaikan dengan empati, bukan rasa bersalah.

Di platform digital, tombol lapor dan pengalihan ke bantuan harus berfungsi cepat, moderasi perlu lebih peka pada konten berisiko, dan alarm bisa dipasang pada pencarian istilah berbahaya. Bukan untuk membungkam, melainkan untuk menerobos ruang gema yang tertutup rapat.

Di tingkat negara, regulasi yang menata pelaporan media dan membangun pencatatan nasional untuk pemantauan kasus adalah fondasi penting. Namun lagi-lagi, algoritma tidak bisa diandalkan. Kita memerlukan literasi dan budaya yang menolak perundungan, menormalisasi minta tolong, dan menghargai pemulihan sebagai narasi arus utama.

Di antara teman, yang paling ampuh sering kali adalah hal paling sederhana, yakni memastikan ada satu orang yang bisa dihubungi pada pukul dua dini hari ketika pikiran gelap datang. Kita bisa belajar kalimat-kalimat kunci: “Aku mendengarkanmu. Kamu tidak sendirian. Mau kalau kita cari bantuan bareng?”

Kita bisa menanyakan langsung, tanpa bertele-tele, jika melihat tanda bahaya: “Apakah kamu sedang berpikir untuk menyakiti diri?” Pertanyaan itu tidak untuk memberi ide. Pertanyaan itu justru membuka pintu untuk mencegah.

Jika teman berkata ya, kita tahu langkah berikutnya, yaitu tetap menemaninya, singkirkan aksesnya terhadap alat atau benda yang berbahaya, dan hubungi layanan profesional.

Dari 10 Oktober ke 11 Oktober, dan Seterusnya

Kita sering menaruh harapan pada tanggal-tanggal simbolik. Tetapi pekerjaan sesungguhnya selalu berlangsung pada 11 Oktober, dan semua hari-hari biasa setelahnya, saat kelas kembali berjalan, notifikasi kembali berdenting, dan anak-anak muda kembali membentuk masa depannya di bawah lampu neon perpustakaan.

Di sanalah kebijakan diuji, budaya diuji, dan janji-janji “peduli kesehatan mental” diuji. Kita bisa memilih menjadi bangsa yang mudah melabeli, atau bangsa yang sabar membangun jaring pengaman.

Jika 10 Oktober adalah alarm, maka respons kita adalah kurikulum yang manusiawi, layanan yang ramah, keluarga yang belajar ulang berbicara, platform yang tidak cuci tangan, dan media yang menjaga.

Untuk kamu yang membaca ini dalam gelap, yang mungkin sedang bergulat dengan pikiran yang menakutkan, ketahuilah bahwa dunia ini lebih luas daripada sebuah nilai, lebih kaya daripada satu jurusan, lebih panjang daripada satu semester.

Ada bantuan yang nyata dan orang-orang yang ingin menolong. Bertahanlah. Hubungi 119 ext. 8 (hotline kesehatan mental Kemenkes) atau layanan konseling kampusmu. Jika situasimu mendesak, minta seseorang menemanimu ke IGD terdekat sekarang juga. Kamu tidak sendirian. (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/