4 November 2025, 11:52 AM WIB

Quiet Quitting: Batas Tipis Antara Work-Life Balance dan Malas Kerja

METROTODAY, SIDOARJO – Fenomena quiet quitting belakangan ramai diperbincangkan di dunia kerja. Istilah ini merujuk pada sikap karyawan yang hanya bekerja sesuai kontrak tanpa memberikan usaha lebih, yang kemudian memicu perdebatan apakah ini bentuk kesadaran menjaga keseimbangan hidup atau justru tanda menurunnya etos kerja?

Fenomena quiet quitting mulai mencuat sejak 2021 di Amerika Serikat melalui diskusi di media sosial, khususnya TikTok.

Kini, tren ini menjalar ke berbagai negara termasuk Indonesia, terutama di kalangan generasi muda yang bekerja di sektor korporasi maupun start-up.

Secara sederhana, quiet quitting bukan berarti berhenti bekerja, melainkan memilih untuk tidak melampaui tugas dan tanggung jawab yang tertera di kontrak kerja.

Para pekerja yang menganut konsep ini enggan lembur tanpa bayaran, menolak membawa pekerjaan ke rumah, dan hanya fokus pada kewajiban inti.

Fenomena ini lahir sebagai respons terhadap kelelahan kerja (burnout), minimnya penghargaan, hingga meningkatnya kesadaran akan pentingnya work-life balance.

Generasi muda tidak lagi menempatkan karier sebagai pusat kehidupan, melainkan hanya bagian dari keseharian yang harus seimbang dengan aspek lain seperti keluarga, kesehatan mental, dan hobi.

Dampak Positif-Negatif Quiet Quitting

Bagi sebagian pihak, quiet quitting dianggap sebagai langkah sehat untuk mengembalikan batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Karyawan yang menerapkan pola ini cenderung lebih mampu menjaga kesehatan mental, terhindar dari stres berkepanjangan, serta memiliki energi untuk mengembangkan diri di luar pekerjaan.

Fenomena ini juga dapat mendorong perusahaan untuk lebih peduli pada kesejahteraan karyawan. Dengan meningkatnya kesadaran pekerja akan hak dan batas kerja, perusahaan dituntut memberikan sistem kerja yang lebih manusiawi, transparan, dan seimbang.

Namun, quiet quitting juga menuai kritik. Perusahaan khawatir tren ini menurunkan produktivitas, loyalitas, dan semangat inovasi. Jika karyawan hanya bekerja sebatas standar minimum, peluang berkembang baik untuk individu maupun perusahaan bisa terhambat.

Selain itu, stigma “malas kerja” juga bisa melekat pada generasi muda yang menjalani konsep ini. Alih-alih dipandang sebagai bentuk kesadaran diri, sikap ini bisa dianggap sebagai kurangnya dedikasi dan tanggung jawab.

Dalam jangka panjang, hal tersebut berpotensi memengaruhi karier seseorang, terutama dalam dunia kerja yang masih sangat kompetitif.

Fenomena quiet quitting kini menjadi titik krusial dalam dunia kerja modern. Di satu sisi, ia menghadirkan peluang terciptanya generasi pekerja yang lebih sehat secara mental. Di sisi lain, tren ini bisa berbalik menjadi bumerang bila diterjemahkan sebagai alasan untuk bekerja tanpa inisiatif.

Pertanyaannya, apakah quiet quitting akan membawa keseimbangan baru dalam dunia kerja, atau justru melahirkan generasi pekerja yang rentan terhadap label malas? ‘

Jawabannya kini bergantung pada bagaimana karyawan dan perusahaan sama-sama menyikapi batas tipis antara work-life balance dan etos kerja. (amelia/red)

METROTODAY, SIDOARJO – Fenomena quiet quitting belakangan ramai diperbincangkan di dunia kerja. Istilah ini merujuk pada sikap karyawan yang hanya bekerja sesuai kontrak tanpa memberikan usaha lebih, yang kemudian memicu perdebatan apakah ini bentuk kesadaran menjaga keseimbangan hidup atau justru tanda menurunnya etos kerja?

Fenomena quiet quitting mulai mencuat sejak 2021 di Amerika Serikat melalui diskusi di media sosial, khususnya TikTok.

Kini, tren ini menjalar ke berbagai negara termasuk Indonesia, terutama di kalangan generasi muda yang bekerja di sektor korporasi maupun start-up.

Secara sederhana, quiet quitting bukan berarti berhenti bekerja, melainkan memilih untuk tidak melampaui tugas dan tanggung jawab yang tertera di kontrak kerja.

Para pekerja yang menganut konsep ini enggan lembur tanpa bayaran, menolak membawa pekerjaan ke rumah, dan hanya fokus pada kewajiban inti.

Fenomena ini lahir sebagai respons terhadap kelelahan kerja (burnout), minimnya penghargaan, hingga meningkatnya kesadaran akan pentingnya work-life balance.

Generasi muda tidak lagi menempatkan karier sebagai pusat kehidupan, melainkan hanya bagian dari keseharian yang harus seimbang dengan aspek lain seperti keluarga, kesehatan mental, dan hobi.

Dampak Positif-Negatif Quiet Quitting

Bagi sebagian pihak, quiet quitting dianggap sebagai langkah sehat untuk mengembalikan batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Karyawan yang menerapkan pola ini cenderung lebih mampu menjaga kesehatan mental, terhindar dari stres berkepanjangan, serta memiliki energi untuk mengembangkan diri di luar pekerjaan.

Fenomena ini juga dapat mendorong perusahaan untuk lebih peduli pada kesejahteraan karyawan. Dengan meningkatnya kesadaran pekerja akan hak dan batas kerja, perusahaan dituntut memberikan sistem kerja yang lebih manusiawi, transparan, dan seimbang.

Namun, quiet quitting juga menuai kritik. Perusahaan khawatir tren ini menurunkan produktivitas, loyalitas, dan semangat inovasi. Jika karyawan hanya bekerja sebatas standar minimum, peluang berkembang baik untuk individu maupun perusahaan bisa terhambat.

Selain itu, stigma “malas kerja” juga bisa melekat pada generasi muda yang menjalani konsep ini. Alih-alih dipandang sebagai bentuk kesadaran diri, sikap ini bisa dianggap sebagai kurangnya dedikasi dan tanggung jawab.

Dalam jangka panjang, hal tersebut berpotensi memengaruhi karier seseorang, terutama dalam dunia kerja yang masih sangat kompetitif.

Fenomena quiet quitting kini menjadi titik krusial dalam dunia kerja modern. Di satu sisi, ia menghadirkan peluang terciptanya generasi pekerja yang lebih sehat secara mental. Di sisi lain, tren ini bisa berbalik menjadi bumerang bila diterjemahkan sebagai alasan untuk bekerja tanpa inisiatif.

Pertanyaannya, apakah quiet quitting akan membawa keseimbangan baru dalam dunia kerja, atau justru melahirkan generasi pekerja yang rentan terhadap label malas? ‘

Jawabannya kini bergantung pada bagaimana karyawan dan perusahaan sama-sama menyikapi batas tipis antara work-life balance dan etos kerja. (amelia/red)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/