Oleh: Edhy Aruman, Kolumnis, Lecturer and Educator LSPR Jakarta
SEORANG Menteri Keuangan bukan hanya pengelola anggaran, ia juga wajah yang membawa pesan ekonomi ke publik.
Di balik grafik pertumbuhan dan angka inflasi, ada gaya komunikasi yang membentuk persepsi publik: apakah negara ini aman, apakah kebijakan kredibel, apakah pemimpinnya bisa dipercaya.
Norton (1983) menyebut gaya komunikasi sebagai campuran verbal, nonverbal, dan paraverbal yang membentuk cara orang lain menafsirkan pesan. Dengan kata lain, publik tidak hanya mendengar isi, tetapi juga menimbang cara penyampaiannya.
Mari kita lihat dua contoh nyata: Sri Mulyani Indrawati dan Purbaya Yudhi Sadewa.
Saat pandemi COVID-19 melanda pada 2020, Sri Mulyani tampil di hadapan publik dengan wajah serius, data lengkap, dan narasi yang hati-hati.
Ia menjelaskan defisit APBN yang membengkak hingga di atas 6%, sebuah angka yang menakutkan jika keluar dari mulut pejabat yang salah.
Tetapi, ia membingkai narasi itu dengan pesan moral: ini soal keberanian negara hadir, soal solidaritas, dan soal menjaga rakyat agar tidak jatuh lebih dalam.
Dalam setiap konferensi pers, ia tidak hanya menampilkan angka, tetapi juga menekankan urgensi kebijakan dengan bahasa tanggung jawab. Brandt dan Uusi-Kakkuri (2016) menyebut gaya ini sebagai komunikasi “terkontrol” dan “transparan.”
Dengan itu, ia membangun kepercayaan bahwa negara memang tahu apa yang sedang dilakukan. Investor global menilai ucapan Sri Mulyani sebagai jaminan stabilitas fiskal.
Bandingkan dengan Purbaya. Dalam forum publik tahun 2024, ia menanggapi kritik Rocky Gerung dengan kalimat bernada jenaka: “Pak Rocky mungkin sedikit belajar ekonomi lagi, Pak.”
Ucapan itu disambut tawa audiens. Sebagian menganggapnya segar, menandakan pejabat berani menghadapi kritik. Tetapi sebagian lain menilai itu terlalu personal, seolah pejabat publik merendahkan lawannya dengan humor agresif.
Xu, Li, dan Sun (2024) mencatat bahwa humor afiliatif bisa memperkuat kepercayaan, tetapi humor agresif sering memicu emosi negatif.
Kritik publik pun muncul: alih-alih fokus pada substansi kebijakan, Purbaya dianggap sibuk meladeni perdebatan dengan sindiran. “Pura-pura gaya,” kata Rocky Gerung.
Perbedaan gaya ini membawa dampak politik yang berbeda. Sri Mulyani, dengan gaya akademisnya, membangun reputasi sebagai teknokrat yang serius dan kredibel.
Ia jarang melucu, dan kalaupun ada, humornya ringan serta tidak menyinggung siapa pun. Hal ini menegaskan jarak antara dirinya dan politik praktis, sesuatu yang membuatnya relatif aman dari serangan balik.
Publik mungkin menilai gaya ini kaku, tetapi justru karena kekakuan itu, kepercayaan pasar tetap terjaga. Barnlund (1989) menulis bahwa dalam budaya dengan orientasi hierarki tinggi, gaya komunikasi formal sering diasosiasikan dengan stabilitas.
Sementara itu, Purbaya tampil lebih cair. Ia menggunakan metafora “dua mesin pertumbuhan”—pemerintah dan swasta—untuk menjelaskan visi ekonominya. Publik awam bisa lebih mudah menangkap makna lewat perumpamaan ini.
Namun, masalah muncul ketika logika dasar yang ia gunakan dipertanyakan.
Rocky Gerung menudingnya terjebak dalam kesalahan post hoc ergo propter hoc : menganggap bahwa ekonomi membaik karena intervensi Jokowi, padahal bisa saja perbaikannya terjadi karena faktor lain.
Kritik ini menunjukkan bahwa humor dan perumpamaan tidak cukup jika logika rapuh.
Bracciale dan Martella (2017) menekankan bahwa dalam komunikasi politik, isi dan bungkus tidak bisa dipisahkan: retorika cerdas tetap membutuhkan fondasi logis.
Dari sini, dampak pada kepercayaan publik jelas. Sri Mulyani menumbuhkan keyakinan dengan otoritas. Publik percaya karena ia tidak hanya bicara dengan data, tetapi juga menyajikan narasi moral yang konsisten.
Purbaya, sebaliknya, membangun keakraban dengan gaya personal dan humoris. Namun, kedekatan ini rapuh ketika pesan tersandung kritik logika atau sindiran yang terasa merendahkan.
Julukan “pura-pura banyak gaya” yang muncul di ruang publik adalah contoh bagaimana gaya komunikasinya bisa menjadi bumerang.
Secara politik, gaya Sri Mulyani memperkuat posisinya sebagai figur stabil yang meyakinkan investor, lembaga internasional, dan masyarakat yang haus kepastian. Ia menjadi simbol kredibilitas fiskal Indonesia di mata dunia.
Purbaya, di sisi lain, lebih dekat dengan gaya populis yang berusaha mencairkan suasana dan meraih simpati massa. Ini bisa berhasil dalam forum terbatas, tetapi berisiko dalam jangka panjang ketika pasar atau publik menuntut kepastian.
Peristiwa pandemi dan perdebatan dengan Rocky Gerung ini memperlihatkan dua wajah gaya komunikasi menteri keuangan. Sri Mulyani adalah wajah otoritas yang serius, terukur, dan sulit digoyahkan.
Purbaya adalah wajah spontanitas yang jenaka, dekat, tapi rentan menimbulkan perdebatan. Kedua gaya ini sah, tetapi dampaknya berbeda.
Sri Mulyani memperkuat kepercayaan publik dengan kredibilitas. Purbaya mencoba membangun kedekatan, tapi harus hati-hati agar humor dan spontanitas tidak justru meruntuhkan kepercayaan yang sedang dibangun.
Pada akhirnya, seorang menteri keuangan tidak hanya mengelola APBN, tetapi juga “APBN emosional” publik: angka kepercayaan, persepsi stabilitas, dan rasa aman. Sri Mulyani mengisinya dengan ketegasan data.
Purbaya mencoba mengisinya dengan tawa. Pertanyaannya, di tengah situasi ekonomi yang rapuh, mana yang lebih mampu membuat publik percaya bahwa masa depan masih bisa dijaga? (*)