METROTODAY, SURABAYA – Pemkot Surabaya melakukan penandatangan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya dan Kejari Tanjung Perak terkait penerapan pidana sanksi sosial. Kerja sama ini merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur.
Penandatanganan PKS dilakukan bersamaan dengan pemerintah kabupaten/kota dan Kejari se-Jawa Timur, dipusatkan di Gedung AG Pringgodigdo, Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) Surabaya.
Acara ini disaksikan langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung RI Asep Nana Mulyana, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur Agus Sahat Sampe Tua Lumban Gaol, serta Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menjelaskan bahwa PKS tersebut berkaitan dengan penerapan restorative justice yang disertai sanksi sosial, bukan penghapusan hukuman.
“Itu adalah terkait dengan restorative justice, jadi ada sanksi sosial. Ketika ada kejadian yang di-restorative justice, maka hukuman tidak digantikan (dihapuskan), tapi dengan restorative justice itu tetap harus ada sanksi sosial,” ujar Eri, Selasa (16/12).
Ia menuturkan bahwa Pemkot Surabaya akan menyiapkan berbagai bentuk kerja sosial yang dibutuhkan oleh perangkat daerah (PD) sebagai bagian dari penerapan sanksi tersebut. “Sehingga nanti di situ kami akan menyampaikan apa saja yang dibutuhkan oleh pemerintah kota. Contoh, di kita ada Dinas Sosial yang memandikan orang gila, kasih makan ODGJ, juga menjaga sekolah dan TPS,” jelasnya.
Durasi pidana sanksi sosial akan ditentukan sesuai dengan kebutuhan dan jenis pelanggaran yang ditangani melalui mekanisme restorative justice. “Ketika ada restorative justice, maka ditentukan berapa sih lama harinya mereka menjalankan kerja sosial,” katanya.
Untuk mendukung hal tersebut, Pemkot Surabaya akan menginventarisasi bentuk kerja sosial di masing-masing PD.
“Nanti kami meminta di masing-masing PD itu apa kerja sosial yang bisa diterapkan, nanti kita sampaikan kepada Pak Kajari. Sehingga ketika beliau nanti memberikan sanksi, maka akan melihat di sebelah mana mereka akan diberikan sanksi sosial, di dinas apa, dalam bentuk apa, dalam berapa hari,” terangnya.
Terkait waktu penerapan, Eri menyatakan bahwa kebijakan tersebut akan mulai dijalankan pada tahun 2026. “Kita jalankan di tahun 2026, setelah ini kita tindaklanjuti langsung dengan Pak Kajari. Sehingga ketika ada restorative justice berikutnya, sudah ada sanksi sosial, tidak menghilangkan sanksinya,” imbuhnya.
Ia juga mencontohkan sejumlah bentuk pidana sanksi sosial lain yang bersifat umum dan tidak berorientasi keuntungan. “Ini kan sifatnya umum, tidak bersifat (mendapat, Red) keuntungan, tapi bagaimana mereka ada sanksi sosial yang bersifat umum dan untuk kemasyarakatan,” pungkasnya. (ahm)
Berawal dari strategi hemat saat mendaftar event lari, siapa sangka justru lahir sebuah komunitas lari…
Fotografi jurnalistik tidak semata soal keindahan visual, tapi juga ketepatan konteks, kejujuran, dan nilai berita.…
Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Bhayangkara Surabaya (UBHARA) menghadirkan solusi pengelolaan sampah ramah lingkungan.…
Dewan Pers dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyepakati kerja sama strategis guna menjamin terciptanya…
Pemkot Surabaya bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) dan Satgas Pangan Kepolisian mengintensifkan pengawasan harga,…
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) gasal tahun 2025, khususnya…
This website uses cookies.