BERBAHAYA: Fenomena sound horeg di berbagai wilayah di Jatim ternyata dapat menimbulkan risiko penyakit jantung. (Foto: Istimewa)
METROTODAY, SURABAYA – Tragedi di Lumajang, Jawa Timur, dimana seorang ibu meninggal dunia saat menyaksikan karnaval dengan iringan sound horeg, kembali menjadi sorotan terhadap bahaya dentuman musik bervolume tinggi.
Fenomena ini memicu kekhawatiran serius akan dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh paparan suara ekstrem, terutama bagi kelompok rentan.
Menanggapi kejadian ini, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Dr. Meity Ardiana, dr. Sp.JP(K), FIHA, menjelaskan bahwa paparan suara dengan volume sangat tinggi dapat memicu respons fisiologis yang berpotensi mengganggu fungsi kardiovaskuler.
Kondisi ini sangat berbahaya bagi individu yang memiliki faktor risiko penyakit jantung.
“Pada orang yang sehat, kemungkinan dampaknya relatif kecil. Namun bagi yang sudah memiliki faktor risiko seperti gangguan irama jantung, paparan suara keras dapat menjadi pencetus terjadinya aritmia atau henti jantung,” ujar Dr. Meity Senin (18/8).
Dr. Meity menambahkan bahwa kebisingan di lingkungan kerja atau tempat hiburan sering kali menjadi faktor risiko penyakit jantung yang terabaikan.
Paparan suara di atas 85 dB secara terus-menerus dapat mempengaruhi pembuluh darah, memicu stres fisiologis, dan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner.
Dalam bidang kardiologi, pencegahan adalah langkah utama. Dr. Meity menekankan pentingnya pengendalian kebisingan, bahkan di lingkungan kerja perkotaan, sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit jantung.
“Kalau di tempat kerja saja kebisingan harus dikendalikan demi kesehatan, apalagi pada sound horeg yang dijadikan hiburan. Saya rasa itu bukan sesuatu yang menyehatkan, justru merugikan,” tegasnya.
Dr. Meity mendorong adanya regulasi khusus untuk melindungi kelompok rentan seperti lansia dan penderita penyakit jantung dari paparan suara ekstrem di ruang publik. Ia juga menyoroti pentingnya mengadopsi prinsip manajemen risiko lingkungan kerja dalam pengelolaan kegiatan publik.
“Kalau di tempat kerja saja ada batasan kebisingan dan kewajiban memakai pelindung telinga, maka di kegiatan hiburan pun seharusnya ada pembatasan agar aman bagi kesehatan,” jelas dosen dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) ini.
Ia juga mengingatkan bahwa risiko gangguan jantung akibat paparan suara keras seringkali terjadi tanpa gejala awal yang jelas. Aritmia, misalnya, dapat muncul secara tiba-tiba dan berujung fatal.
“Jika tahu volumenya berlebihan, sebaiknya segera menjauh dari sumber suara,” imbaunya.
Dengan kesadaran bersama, regulasi yang tepat, dan penerapan prinsip pencegahan, diharapkan risiko gangguan jantung akibat kebisingan ekstrem dapat ditekan. “Apapun bentuknya, suara yang melebihi ambang batas aman akan berdampak buruk bagi jantung, baik pada usia muda maupun lanjut,” pungkasnya. (ahm)
Tim relawan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang terdiri dari dokter, perawat, psikolog, konselor, dan ahli…
Tiga stand warung semi permanen di Jalan Pawiyatan, Surabaya tepatnya belakang Aspol, terbakar, Sabtu (13/12)…
DALAM sebuah momen yang berlangsung sederhana namun sarat makna, di ruang yang hangat dan penuh kekeluargaan,…
Raperda tentang hunian yang layak, yang mencakup kebijakan perencanaan, pengelolaan, tata ruang, dan keberlanjutan hunian…
PWI Pusat menerbitkan tiga Surat Edaran (SE) untuk seluruh anggota se-Indonesia, yakni SE tentang Rangkap…
Masyarakat dihebohkan dengan video viral aksi pencopetan di Stasiun Surabaya Gubeng Lama, beberapa waktu lalu.…
This website uses cookies.