METROTODAY, SURABAYA – Tujuh tahun telah berlalu sejak tragedi bom bunuh diri mengguncang tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018. Namun, ingatan akan kejadian kelam yang menewaskan 14 orang itu masih membekas dalam benak warga.
Tahun ini, peringatan tragedi tersebut hadir dengan semangat baru—mengusung aksi nyata bertajuk “Agama untuk Apa?”, yang menekankan pentingnya peran agama sebagai jembatan perdamaian, bukan pemecah belah.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, peringatan kali ini tidak hanya berfokus pada seremoni mengenang duka. Para penyintas duduk berbaur tanpa sekat bersama para tokoh lintas agama dan komunitas pemuda, menunjukkan komitmen kolektif untuk hidup berdampingan secara damai.
Acara utama berlangsung di Gereja Santa Maria Tak Bercela (GSMTB) Ngagel, Surabaya, pada Selasa (13/5) malam.
Wicaksana Isa Nugraha, Ketua Pelaksana peringatan, menuturkan bahwa refleksi kali ini berangkat dari kegelisahan atas bagaimana agama kerap disalahpahami.
“Seringkali dogma memisahkan kita. Maka tema ‘Agama untuk Apa?’ menjadi ajakan untuk merefleksikan kembali, apakah agama menyatukan atau justru menciptakan jarak?” ujarnya.
Sebagai simbol komitmen perdamaian dan harapan, panitia memilih menanam pohon ketapang kencana di lokasi-lokasi terdampak bom, yakni Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jalan Arjuna, Gereja Santa Maria Tak Bercela (GSMTB) Ngagel, GKI Diponegoro, dan Mapolrestabes Surabaya. Pohon ini dipilih karena melambangkan kekuatan, keteduhan, dan ketahanan.
“Ini langkah konkret, bukan hanya simbolis. Kami tidak ingin hanya merayakan kesedihan, tapi mengubahnya menjadi gerakan nyata yang memberi dampak luas,” jelas Wicaksana.
Penanaman pohon dijadwalkan pada 17 atau 18 Mei, bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya, dengan salah satu lokasi penghijauan berada di TPU Keputih yang tergolong gersang.
Refleksi ini juga melibatkan sejumlah organisasi pemuda lintas agama, seperti Pemuda BGI, GUSDURian Surabaya, Idenera, GMKI Surabaya, dan perwakilan pemuda Katolik. Kehadiran mereka menandai bahwa generasi muda tidak hanya ingin mengenang tragedi, tetapi juga mengambil peran aktif membangun masa depan yang lebih toleran.
“Kami ingin menciptakan ruang yang relevan untuk anak muda. Bukan sekadar upacara, tetapi ruang dialog, aksi, dan pendidikan. Karena akar dari intoleransi itu ada di persoalan pendidikan,” tambah Wicaksana.
Melalui momentum ini, para pemuda Surabaya ingin menegaskan bahwa peringatan bukan hanya tentang luka masa lalu, melainkan langkah bersama menuju masa depan yang lebih inklusif dan hijau. (*)
Tim relawan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang terdiri dari dokter, perawat, psikolog, konselor, dan ahli…
Tiga stand warung semi permanen di Jalan Pawiyatan, Surabaya tepatnya belakang Aspol, terbakar, Sabtu (13/12)…
DALAM sebuah momen yang berlangsung sederhana namun sarat makna, di ruang yang hangat dan penuh kekeluargaan,…
Raperda tentang hunian yang layak, yang mencakup kebijakan perencanaan, pengelolaan, tata ruang, dan keberlanjutan hunian…
PWI Pusat menerbitkan tiga Surat Edaran (SE) untuk seluruh anggota se-Indonesia, yakni SE tentang Rangkap…
Masyarakat dihebohkan dengan video viral aksi pencopetan di Stasiun Surabaya Gubeng Lama, beberapa waktu lalu.…
This website uses cookies.