METROTODAY, SURABAYA – Usulan menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (bansos) menuai polemik. Bukan hanya menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil, wacana tersebut juga dipandang problematik oleh kalangan akademisi, termasuk sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Bagong Suyanto.
Dalam keterangannya, Prof Bagong menyebut wacana tersebut sebagai bentuk intervensi negara yang berlebihan terhadap hak paling privat warga negara, yakni hak atas tubuh dan reproduksi.
“Vasektomi memang sah dilakukan dan penting untuk mendorong partisipasi laki-laki dalam program KB. Tapi jika dijadikan syarat bansos, itu sudah masuk wilayah paksaan, bukan kesadaran,” ujar Prof Bagong di Surabaya, Selasa (12/5).
Ia menekankan bahwa bansos adalah hak dasar masyarakat, bukan imbalan yang diberikan bersyarat pada pengorbanan biologis. Menurutnya, pendekatan memaksa justru bertentangan dengan prinsip keadilan sosial.
Lebih jauh, Dekan FISIP Unair ini menganalisis wacana tersebut melalui konsep biopolitik dalam kajian sosiologi. Ia menyebut bahwa ketika negara mengatur tubuh warganya, terutama yang miskin, maka telah terjadi ketimpangan kuasa yang serius.
“Negara tidak hanya mengatur aspek politik dan ekonomi, tapi juga mulai masuk ke tubuh individu. Ini menunjukkan bagaimana tubuh masyarakat miskin dijadikan objek kontrol dengan dalih bantuan sosial,” tegasnya.
Dari sudut pandang relasi kuasa, negara seolah-olah memiliki wewenang mutlak atas pilihan reproduksi masyarakat miskin, sementara kelompok ekonomi atas tidak dikenai kontrol serupa. Hal ini, kata Prof Bagong, berbahaya karena membuka celah diskriminasi dan tekanan psikososial yang berat bagi penerima bansos.
“Jika orang miskin harus menyerahkan hak reproduksinya demi menerima bantuan, itu bukan lagi kebijakan publik yang adil, tapi bentuk penindasan terselubung,” tambahnya.
Menanggapi persoalan pengendalian penduduk, Prof Bagong menyarankan agar negara mengambil pendekatan edukatif dan berbasis insentif. Program keluarga berencana harus dibangun di atas kesadaran, bukan ketakutan.
“Lakukan sosialisasi menyeluruh, beri insentif bagi yang ikut serta dalam program KB. Jangan jadikan tubuh warga sebagai ‘taruhan’ untuk mendapatkan hak hidup layak,” pungkasnya.
Usulan kontroversial ini menjadi alarm penting bagi pembuat kebijakan agar tidak menjadikan kebijakan publik sebagai alat kontrol atas tubuh warga. Hak atas tubuh dan pilihan reproduksi, menurut banyak ahli, adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. (*)