METROTODAY, SIDOARJO – Pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 menuai banyak sorotan dari para siswa di berbagai daerah.
Sejumlah peserta mengeluhkan waktu pengerjaan yang dianggap terlalu singkat, terutama pada mata pelajaran Matematika yang disebut menjadi momok tersulit selama ujian berlangsung. Dengan hanya 50 menit untuk menjawab 25 soal, para siswa merasa tertekan dan sulit berpikir jernih di tengah waktu yang terus berjalan.
Tes Kemampuan Akademik (TKA) merupakan asesmen berstandar nasional yang digunakan untuk mengukur capaian kompetensi siswa di tingkat sekolah menengah atas dan kejuruan.
Tahun ini, pelaksanaan TKA berlangsung selama tiga hari, di mana Matematika menjadi salah satu mata pelajaran wajib yang paling dikeluhkan karena tingkat kesulitan dan tekanan waktunya.
Salah satu peserta, Ikhsan Bagas, siswa SMAN 78 Jakarta, mengaku kesulitan dalam mengatur waktu selama ujian berlangsung. Ia menilai durasi yang diberikan tidak sebanding dengan kompleksitas soal yang harus dianalisis.
“Waktu ngerjain agak pressure banget, terutama di matematikanya. Karena waktu itu cuma 50 menit buat 25 soal. Jadi harus mikir dua menit per soal, itu kurang banget sih,” ujar Ikhsan dengan nada kecewa.
Keluhan senada disampaikan oleh sejumlah siswa dari SMKN 26 Jakarta. Akbar Zainal, salah satu peserta ujian, menilai waktu yang diberikan seharusnya bisa lebih panjang agar siswa dapat berpikir lebih tenang dan mengerjakan soal dengan lebih teliti.
“Idealnya di 1 jam sampai 1 jam 15 menit, Pak. Kalau ditambah waktunya, hasilnya pasti lebih maksimal,” kata Akbar ketika berbincang dengan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah di sela-sela peninjauan pelaksanaan ujian, kemarin.
Dari pantauan di lapangan, banyak siswa mengaku sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari dengan berlatih soal melalui laman resmi Pusat Asesmen dan Pembelajaran (Pusmendik).
Namun, sejumlah peserta mengaku terkejut karena tipe soal yang muncul dalam ujian ternyata berbeda dari latihan yang mereka pelajari.
Banyak soal Matematika TKA disusun dalam bentuk cerita panjang yang membutuhkan kemampuan berpikir logis dan analitis, bukan sekadar hafalan rumus.
“Aku udah belajar rumus-rumusnya, tapi pas ujian malah lebih banyak soal logika. Jadi kayak 80 persen yang kupelajari enggak kepakai,” ujar Ikhsan menambahkan.
Selain soal yang rumit, tekanan waktu yang singkat membuat banyak siswa tidak sempat menuntaskan semua pertanyaan.
Beberapa peserta bahkan mengaku hanya mampu mengerjakan sekitar 70 persen dari total soal sebelum waktu habis. Hal ini menimbulkan kecemasan tersendiri karena mereka merasa hasil ujian tidak akan mencerminkan kemampuan sebenarnya.
Menanggapi keluhan tersebut, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan TKA 2025. Evaluasi tersebut mencakup durasi ujian, jumlah soal, serta tingkat kesulitan setiap mata pelajaran, khususnya Matematika.
“Salah satunya adalah soal penambahan waktu jadi satu jam. Itu akan kami evaluasi berdasarkan masukan dari siswa dan guru di lapangan,” kata Atip saat ditemui di SMKN 26 Jakarta, kemarin.
Atip juga menyoroti perbedaan karakter antara siswa SMA dan SMK dalam menghadapi TKA. Menurutnya, siswa SMK cenderung lebih fokus pada aspek keterampilan, sehingga wajar jika mereka merasa kesulitan dengan soal Matematika yang bersifat teoretis.
Karena itu, Kemendikdasmen membuka kemungkinan untuk menyesuaikan bentuk soal agar lebih aplikatif dan relevan dengan bidang keahlian siswa SMK.
“Matematika terapan mungkin bisa jadi alternatif agar soal lebih sesuai dengan konteks kejuruan. Tapi tetap, matematika adalah bagian penting dari hidup kita. Life is matematika, matematika is our life,” ujar Atip menegaskan.
Pemerintah juga tengah menghimpun berbagai masukan dari sekolah-sekolah di seluruh Indonesia untuk dijadikan bahan evaluasi pelaksanaan TKA selanjutnya. Tujuannya agar sistem asesmen nasional ini bisa memberikan hasil yang lebih adil dan mencerminkan kemampuan akademik siswa secara objektif.
Meski TKA tidak menjadi faktor penentu kelulusan, hasil ujian tetap penting sebagai alat validasi nilai rapor dan pemetaan mutu pendidikan nasional. Namun bagi sebagian siswa, terutama mereka yang masih menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL), ujian ini tetap menjadi tantangan berat.
“Menurut saya kurang efisien, karena pas PKL aja udah capek, tapi harus tetap belajar buat TKA,” ungkap Fauzan Fadillah, siswa SMKN 26 Jakarta.
Dengan berbagai masukan dari peserta dan guru, Kemendikdasmen berkomitmen melakukan perbaikan sistem agar TKA tahun depan dapat berjalan lebih proporsional, baik dari sisi waktu, jumlah soal, maupun tingkat kesulitan.
Evaluasi ini diharapkan menjadi langkah nyata pemerintah dalam memastikan asesmen pendidikan yang tidak hanya menilai kemampuan akademik, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan dan kesiapan psikologis peserta didik. (amelia/red)
Tim relawan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang terdiri dari dokter, perawat, psikolog, konselor, dan ahli…
Tiga stand warung semi permanen di Jalan Pawiyatan, Surabaya tepatnya belakang Aspol, terbakar, Sabtu (13/12)…
DALAM sebuah momen yang berlangsung sederhana namun sarat makna, di ruang yang hangat dan penuh kekeluargaan,…
Raperda tentang hunian yang layak, yang mencakup kebijakan perencanaan, pengelolaan, tata ruang, dan keberlanjutan hunian…
PWI Pusat menerbitkan tiga Surat Edaran (SE) untuk seluruh anggota se-Indonesia, yakni SE tentang Rangkap…
Masyarakat dihebohkan dengan video viral aksi pencopetan di Stasiun Surabaya Gubeng Lama, beberapa waktu lalu.…
This website uses cookies.