Oleh: Anggit Satriyo Nugroho, Founder Metrotoday.id
KISAH legenda urban Edward Mordake di Inggris pada abad 19 sepertinya terulang lagi dalam dunia yang nyata.
Edward Mordrake dikisahkan sebagai orang yang memiliki dua wajah. Wajah pertama adalah pria tampan, cerdas, dermawan, juga musisi dengan kemampuan langka.
Namun di balik itu, Mordrake memiliki wajah kedua dengan karakter sebaliknya. Culas. Jahat.
Di saat wajah pertama tersenyum bahagia, maka wajah kedua bisa tampil sebaliknya. Cemberut. Juga mencibir.
Sekali waktu, Mordrake yang tampan bisa menangis karena iba. Namun, wajah kedua menampilkan kontradiksinya. Ia tampak mengejek sekaligus menampilkan kepongahan.
Wajah buruk tersebut tentu mengganggu. Berkali kali ia meminta dokter untuk melenyapkan wajah itu. Tapi, semua angkat tangan.
Mordrake seolah menampilkan dua sisi batin manusia. Ia bisa baik hati di suatu waktu. Tapi, ia juga bisa jahat di waktu yang lain.
Pada suatu waktu, manusia bisa terlihat tampil paling depan membela kaum yang lemah. Namun di saat lain, sisi buruk itu muncul. Ia menjadi sosok yang culas dan raja tega.
Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wamen Ketenagakerjaan Immanuel Ebenaezer Gerungan baru baru ini menjadi contoh paling aktual atas kisah itu.
KPK seolah-olah memaksanya untuk membuka selubung wajah asli pejabat kita.
Bukankah dalam banyak kesempatan kita melihat Noel -panggilan Immanuel Ebenaezer-tampil manis di layar kaca hingga ruang digital.
Rambutnya klimis. Bicaranya runtut. Lalu, sekali waktu meledak-ledak.
Di saat merengkuh kekuasaan, ia seakan tak lupa dari mana asalnya. Gaya aktivismenya juga tak perlahan-lahan lantas meluntur.
Noel juga bisa tampil egaliter. Pakaian yang ia kenakan menemui rakyat, sama sekali tak menggambarkan siapa dia sebenarnya.
Kita tahu Noel pernah duduk di kursi komisaris BUMN besar. Semua menyangka ia sosok yang bersahaja.
Noel juga begitu cerdasnya mengemas peran agar setara dengan lawan bicara. Saat menemui driver Ojol, dia mengaku pernah melakukan pekerjaan yang sama pada 2016.
Bahkan, surat nikah menjadi jaminan. Anaknya juga menjadi pekerja yang sama.
Agar lebih meyakinkan, ia bercerita hafal dimana titik titik gacor bagi driver Ojol. Semua terkesima.
Setelah menjadi pejabat, di ruang digital, ia bisa heroik membela kepentingan rakyat.
Berseragam eksekutif dengan pangkat di pundak. Tampak sekali bagaimana video-video Noel melakukan sidak ke beberapa pabrik.
Ia bisa begitu tampak murka kepada para manajemen pabrik ketika ada karyawan yang bekerja disita ijazahnya. Ia berada di belakang para pekerja. Lalu, paling depan membela kepentingan mereka yang tertindas.
Tepuk tangan dimana-mana. Komentar positif berhamburan. Noel ingin menunjukkan bahwa negara hadir dan menunjukkan ketegasan.
Selubung wajah Noel kini mulai tersibak. Bersama 14 orang lain, KPK menangkapnya dalam kasus pemerasan pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja.
Ekspose sedang dilakukan KPK di gedung merah putih. Bila terbukti maka rompi merah akan dikenakannya.
Harta kekayaan Noel mencapai Rp 12,5 miliar. Senjang sekali dengan para pekerja pabrik dan driver-driver ojol yang pernah ia temui.
Komisi anti rasuah juga menyita 22 kendaraan dari rumahnya. 15 mobil dan 7 motor semuanya mewah.
Kisah Noel menjadi bahan introspeksi siapa saja. Apa yang ditampilkan di ruang digital tak selalu sama dengan realitasnya.
Apa yang ia tunjukkan di panggung depan, bisa jadi sebaliknya di panggung belakang.
Tak ada salahnya pejabat menunjukkan kinerja. Tampil habis-habisan di ruang digital. Hitung-hitung sebagai upaya menunjukkan akuntabilitas publik setelah menerima gaji dari uang rakyat.
Kita tahu akhir-akhir ini ruang digital dipenuhi pejabat yang pamer kinerja.
Setiap kita bangun tidur dan buka handphone, maka yang terlihat adalah para pejabat yang tampil aneka gaya.
Marah marah di depan anak buah. Tanpa peduli bagaimana nasib pegawai yang “dipermalukan” di depan publik itu.
Kita menelan saja semua konten-konten itu tanpa pernah kritis. Apakah peristiwanya real ataukah lebih dulu diatur dan gimmick?
Apakah massa yang datang betulan, ataukah mobilisasi?
Apakah tangis pejabat betulan atau atas arahan tim humas?
Faktual atau tidak, para pejabat tak peduli. Semuanya dilakukan dan ditampilkan semata-mata demi views dan popularitas. Semuanya demi decak kagum.
Saatnya para pejabat menyelami kepentingan rakyat yang sejati-jatinya. Bukan lagi sibuk ngonten.
Para pejabat harus sadar bahwa urusannya memegang amanat tak sekadar membuat konten.
Banyak pekerjaan penting yang tak boleh ia tepikan.
Yakni, melayani rakyat sebenar-benarnya. Citra yang baik tak boleh berjarak dengan kenyataan. (red)