METROTODAY, YOGYAKARTA – Lima pemuda di Yogyakarta harus berurusan dengan polisi setelah kedapatan mengakali sistem situs judi online.
Mereka ditangkap karena berhasil meraup keuntungan puluhan juta rupiah dengan membuat akun fiktif dan memanipulasi celah bonus di situs judi online.
Aksi mereka terhenti setelah jajaran Polda DIY menciduknya di sebuah kontrakan di daerah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pakar Hukum Pidana dan Kriminologi dari Jurusan Business Law BINUS, Ahmad Sofian, sebagaimana dikutip dari Liputan6.com memberikan pandangannya terkait kasus ini.
Menurut Sofian, tindakan para pelaku tidak bisa disebut penipuan. Ini murni tindakan pidana dalam konteks perjudian.
Sofian menjelaskan bahwa dalam kasus perjudian, tidak ada istilah korban. Baik pemain maupun bandar, keduanya sama-sama melanggar hukum.
“Dalam konteks tindak pidana judi, dua-duanya pelaku, tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang merugikan,” kata Sofian.
Sofian juga menegaskan bahwa tidak ada unsur penipuan dalam tindakan para pelaku. Jika si bandar melaporkan para pemain, hal itu justru menjadi pengakuan bahwa mereka adalah pelaku perjudian.
“Artinya dia mengakui melakukan tindak pidana judi, jadi harus lakukan penyidikan,” ujarnya.
Ia menambahkan, judi merupakan perbuatan untung-untungan, bukan soal ketangkasan. Karena itu, tak ada istilah “korban penipuan” dalam kasus ini.
Kelima pelaku dijerat dengan Pasal 303 KUHP tentang perjudian dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU ITE. Sofian menilai penerapan UU ITE sudah tepat.
“Sudah tepat itukan soal judi online. Yang tidak tepat kalau dia menggunakan UU Penipuan,” ucapnya.
Meskipun demikian, Sofian menekankan bahwa pengungkapan kasus ini seharusnya tidak berhenti pada lima pelaku saja. Pemilik situs alias bandar judi online juga harus dijerat.
“Iya dong si bandar termasuk, kalau dia bisa dipastikan memiliki situs judi online itu,” tegasnya.
Menurutnya, kasus perjudian tidak memerlukan laporan khusus dari bandar untuk bisa diproses.
Selama ada pengaduan masyarakat atau penyidik menemukan adanya praktik judi, polisi sudah memiliki dasar untuk melakukan penyidikan.
“Kalau laporan dari bandar, mempermudah menjadikan si bandar sebagai tersangka,” tambah Sofian.
Ia juga meyakini bahwa kepolisian memiliki kemampuan untuk membongkar jaringan judi online dengan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta melakukan patroli siber.
“Harus lanjut. Karena dalam tindak pidana judi, pengguna, pemain, dan bandar dikenakan ancaman hukuman perjudian,” pungkasnya.
Sementara itu, Kasubdit V/Siber Ditreskrimsus Polda DIY, AKBP Slamet Riyanto, membantah adanya keterlibatan bandar judi online dalam pengungkapan kasus ini. Menurutnya, laporan murni berasal dari masyarakat.
“Informasi awal berasal dari warga yang melihat dan mendengar bahwa ada aktivitas mencurigakan dari para pelaku,” ujar AKBP Slamet.
Ia menyebut wajar jika ada tuduhan atau dugaan negatif dari masyarakat, karena kasus ini masih multitafsir. Namun, ia memastikan bahwa pengungkapan kasus ini tidak ada kaitannya dengan bandar judi.
“Yang jelas dari lidik yang kita lakukan, tidak ada istilah korporasi atau titipan bandar. Ini laporan murni dari masyarakat, bukan dari bandar,” tegasnya. (red)