28.7 C
Surabaya
1 July 2025, 18:06 PM WIB

Masyarakat Jawa Rayakan Malam Satu Suro, Momentum Introspeksi dan Doa

METROTODAY, SURABAYA – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan sains yang nyaris menguasai berbagai lini kehidupan, masih ada budaya yang bertahan dan terus dilestarikan. Salah satunya adalah Malam Satu Suro, tradisi masyarakat Jawa yang sarat nilai spiritual dan filosofi kehidupan.

Malam Satu Suro merupakan penanda pergantian tahun baru dalam penanggalan Jawa. Tidak sekadar perubahan angka tahun, malam ini dimaknai sebagai momentum spiritual yang dipenuhi doa, refleksi, dan laku batin. Ada perpaduan antara simbolisme budaya, mitos, dan ajaran leluhur yang tetap hidup di tengah masyarakat.

Pada tahun 2025, Malam Satu Suro jatuh pada Jumat malam, 27 Juni 2025, bertepatan dengan 1 Muharram 1447 Hijriah. Artinya, tahun baru Jawa dan Islam dimulai bersamaan pada hari yang sama. Perayaan ini disambut khidmat di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Solo, serta beberapa wilayah di Jawa Timur, termasuk Sidoarjo.

Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi yang diwarnai pesta dan kembang api, Malam Satu Suro dipandang sebagai waktu sakral untuk menyepi, melakukan perenungan, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bagi masyarakat Jawa, ini adalah saat membersihkan lahir dan batin, memohon perlindungan, sekaligus menghormati leluhur.

Salah satu tradisi yang masih lestari terlihat di Punden Mbah Lintang Mukti, Kelurahan Sidokare, Sidoarjo. Di tempat ini, warga rutin menggelar Malam Tirakatan 1 Suro setiap tahun. Rangkaian acaranya meliputi arak-arakan pusaka, pembacaan kidung “Rumekso Ing Wengi”, ritual jamasan (memandikan benda pusaka), serta potong tumpeng sebagai wujud rasa syukur.

Kidung Rumekso Ing Wengi dipercaya memiliki kekuatan perlindungan. Liriknya berisi doa-doa untuk menangkal bala dan menjaga ketenangan batin. Sementara ritual jamasan bertujuan membersihkan benda pusaka dari energi negatif sekaligus memulihkan kekuatan spiritualnya.

Menurut para sesepuh adat di Sidoarjo, ritual ini tidak hanya sekadar seremoni tahunan, melainkan sarana transfer nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada generasi muda. Di tengah derasnya modernisasi, warisan budaya seperti ini menjadi penanda jati diri masyarakat Jawa.

Malam Satu Suro juga tidak lepas dari berbagai mitos dan larangan yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat. Di antaranya:

Tidak boleh menggelar pesta atau hajatan, termasuk pernikahan. Malam ini dianggap waktu untuk menyepi dan tidak pantas untuk bersuka ria.

Dilarang bepergian jauh, karena dipercaya malam ini dipenuhi energi gaib yang sangat kuat.

Tidak membuat keributan di luar rumah pada malam hari, sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan kekuatan tak kasat mata.

Selain itu, masih ada kepercayaan terkait weton tulang wangi, yakni orang-orang yang lahir di tanggal tertentu yang diyakini memiliki energi spiritual lebih tinggi. Mereka disarankan tidak keluar rumah pada malam satu Suro untuk menghindari gangguan makhluk halus atau energi buruk.

Mengutip dari laman Indonesia Kaya, makna utama Malam Satu Suro bukanlah urusan mistis seperti yang kerap disalahartikan. Ini adalah momen untuk melakukan tirakat, meditasi, puasa, serta refleksi diri. Tujuannya adalah menyucikan jiwa, mengawali tahun baru dengan kesadaran spiritual, dan memperbaiki diri menuju hidup yang lebih baik.

Filosofi satu Suro berakar pada konsep “ngelmu sejati”, yaitu pencarian makna hidup dan mendekatkan diri pada Tuhan. Malam ini bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dihormati, direnungkan, dan dijalani dengan penuh kesadaran.

Perayaan Malam Satu Suro di Punden Mbah Lintang Mukti, maupun di berbagai daerah lainnya, menjadi pengingat bahwa budaya bukanlah penghalang kemajuan. Sebaliknya, budaya adalah pondasi yang memperkuat identitas di tengah arus globalisasi.(alk)

METROTODAY, SURABAYA – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan sains yang nyaris menguasai berbagai lini kehidupan, masih ada budaya yang bertahan dan terus dilestarikan. Salah satunya adalah Malam Satu Suro, tradisi masyarakat Jawa yang sarat nilai spiritual dan filosofi kehidupan.

Malam Satu Suro merupakan penanda pergantian tahun baru dalam penanggalan Jawa. Tidak sekadar perubahan angka tahun, malam ini dimaknai sebagai momentum spiritual yang dipenuhi doa, refleksi, dan laku batin. Ada perpaduan antara simbolisme budaya, mitos, dan ajaran leluhur yang tetap hidup di tengah masyarakat.

Pada tahun 2025, Malam Satu Suro jatuh pada Jumat malam, 27 Juni 2025, bertepatan dengan 1 Muharram 1447 Hijriah. Artinya, tahun baru Jawa dan Islam dimulai bersamaan pada hari yang sama. Perayaan ini disambut khidmat di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Solo, serta beberapa wilayah di Jawa Timur, termasuk Sidoarjo.

Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi yang diwarnai pesta dan kembang api, Malam Satu Suro dipandang sebagai waktu sakral untuk menyepi, melakukan perenungan, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bagi masyarakat Jawa, ini adalah saat membersihkan lahir dan batin, memohon perlindungan, sekaligus menghormati leluhur.

Salah satu tradisi yang masih lestari terlihat di Punden Mbah Lintang Mukti, Kelurahan Sidokare, Sidoarjo. Di tempat ini, warga rutin menggelar Malam Tirakatan 1 Suro setiap tahun. Rangkaian acaranya meliputi arak-arakan pusaka, pembacaan kidung “Rumekso Ing Wengi”, ritual jamasan (memandikan benda pusaka), serta potong tumpeng sebagai wujud rasa syukur.

Kidung Rumekso Ing Wengi dipercaya memiliki kekuatan perlindungan. Liriknya berisi doa-doa untuk menangkal bala dan menjaga ketenangan batin. Sementara ritual jamasan bertujuan membersihkan benda pusaka dari energi negatif sekaligus memulihkan kekuatan spiritualnya.

Menurut para sesepuh adat di Sidoarjo, ritual ini tidak hanya sekadar seremoni tahunan, melainkan sarana transfer nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada generasi muda. Di tengah derasnya modernisasi, warisan budaya seperti ini menjadi penanda jati diri masyarakat Jawa.

Malam Satu Suro juga tidak lepas dari berbagai mitos dan larangan yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat. Di antaranya:

Tidak boleh menggelar pesta atau hajatan, termasuk pernikahan. Malam ini dianggap waktu untuk menyepi dan tidak pantas untuk bersuka ria.

Dilarang bepergian jauh, karena dipercaya malam ini dipenuhi energi gaib yang sangat kuat.

Tidak membuat keributan di luar rumah pada malam hari, sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan kekuatan tak kasat mata.

Selain itu, masih ada kepercayaan terkait weton tulang wangi, yakni orang-orang yang lahir di tanggal tertentu yang diyakini memiliki energi spiritual lebih tinggi. Mereka disarankan tidak keluar rumah pada malam satu Suro untuk menghindari gangguan makhluk halus atau energi buruk.

Mengutip dari laman Indonesia Kaya, makna utama Malam Satu Suro bukanlah urusan mistis seperti yang kerap disalahartikan. Ini adalah momen untuk melakukan tirakat, meditasi, puasa, serta refleksi diri. Tujuannya adalah menyucikan jiwa, mengawali tahun baru dengan kesadaran spiritual, dan memperbaiki diri menuju hidup yang lebih baik.

Filosofi satu Suro berakar pada konsep “ngelmu sejati”, yaitu pencarian makna hidup dan mendekatkan diri pada Tuhan. Malam ini bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dihormati, direnungkan, dan dijalani dengan penuh kesadaran.

Perayaan Malam Satu Suro di Punden Mbah Lintang Mukti, maupun di berbagai daerah lainnya, menjadi pengingat bahwa budaya bukanlah penghalang kemajuan. Sebaliknya, budaya adalah pondasi yang memperkuat identitas di tengah arus globalisasi.(alk)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/