METROTODAY, SURABAYA – Konflik yang telah lama tersembunyi kembali memanas di perbatasan Thailand dan Kamboja. Serangkaian bentrokan militer yang melibatkan serangan udara dan ledakan ranjau darat telah mengakibatkan 14 korban dari Thailand tewas dalam beberapa hari terakhir.
Bentrokan kedua negara bertetangga ini menandai eskalasi terbaru dari sengketa wilayah yang telah berlangsung puluhan tahun, bahkan berabad-abad lamanya.
Ketegangan terbaru ini menarik perhatian internasional setelah dua prajurit Thailand kehilangan kaki akibat ledakan ranjau dalam waktu kurang dari sepekan.
Insiden tragis tersebut mendorong Thailand meluncurkan jet tempur F-16 untuk melancarkan serangan udara terhadap target militer Kamboja pada Kamis (24/7). Hal ini langsung dibalas dengan tembakan artileri dan roket dari pihak Kamboja.
Hubungan diplomatik pun memburuk drastis, meningkatkan kekhawatiran akan pecahnya perang skala penuh. Sejauh ini, 13 warga sipil dan 1 tentara Thailand dilaporkan tewas dan 40 lainnya luka-luka akibat serangan roket dari Kamboja. Sementara dari Kamboja belum merilis informasi korban jiwa.
Akar konflik Thailand-Kamboja sejatinya sangat dalam. Hal ini berawal dari sengketa wilayah yang tak terselesaikan di sepanjang perbatasan kedua negara, khususnya di antara Provinsi Preah Vihear di Kamboja dan Provinsi Ubon Ratchathani di timur laut Thailand.
Unair Wakili Indonesia di ASEAN+3 Youth Cultural Forum, Tampilkan Pesona Budaya Indonesia
Ketegangan terakhir memuncak sejak 28 Mei lalu ketika seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak lintas batas. Kematian tentara tersebut membawa hubungan kedua negara ke titik terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Eskalasi pada Kamis (24/7) sendiri dipicu oleh pemasangan ranjau darat oleh militer Kamboja di sepanjang perbatasan yang disengketakan, yang mengakibatkan enam tentara Thailand menjadi korban luka luka, dua di antaranya kehilangan anggota tubuh.
Konflik ini tak bisa dilepaskan dari era kolonialisme. Klaim Kamboja atas beberapa wilayah di tepi perbatasan terdapat dalam peta tahun 1907 yang dibuat pada masa penjajahan Prancis. Namun, ketidakjelasan peta tersebut menyebabkan interpretasi yang saling bertentangan yang terus dibantah oleh Thailand.
Meskipun kedua belah pihak telah berusaha menyelesaikan perselisihan secara diplomatis, masalah ini tidak pernah tuntas sepenuhnya. Bahkan intervensi badan-badan transnasional seperti Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1962 pun tidak membuahkan hasil akhir.
ICJ memutuskan bahwa kuil Preah Vihear adalah wilayah Kamboja, namun Thailand mengklaim bahwa demarkasi belum selesai untuk bagian luar wilayah berdekatan dengan kuil tersebut.
Pada tahun 2011, ICJ memerintahkan kedua negara untuk menarik pasukan dan menetapkan zona demiliterisasi, tetapi Mahkamah tidak memutuskan siapa yang akan mengendalikan wilayah sengketa yang lebih luas. Ketidakjelasan itu membuat pasukan dari kedua negara terus bentrok.
Puncaknya pada November 2013, ICJ memutuskan bahwa Kamboja memiliki kedaulatan atas seluruh wilayah kuil Preah Vihear, dan Thailand wajib menarik personel militernya. Namun, keputusan ini juga ditolak oleh Thailand.
Ketegangan memuncak pada Mei lalu setelah seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak singkat dengan pasukan Thailand di wilayah sengketa yang dikenal sebagai Segitiga Zamrud, lokasi pertemuan perbatasan antara Thailand, Kamboja, dan Laos. Kedua pihak saling menuduh dan mengklaim bertindak untuk membela diri.
Meskipun pimpinan militer kedua negara sempat menyatakan niat untuk meredakan situasi, langkah-langkah provokatif terus diambil. Thailand memperketat pengawasan di pos perbatasan, membatasi lalu lintas warga, hingga mengancam memutus aliran listrik dan internet ke kota-kota perbatasan Kamboja.
Sebagai balasan, Kamboja menghentikan impor buah dan sayuran dari Thailand dan melarang penayangan film dan hiburan dari Thailand.
Krisis perbatasan ini juga mengguncang politik domestik Thailand. Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra diskors dari jabatannya pada Juli lalu setelah rekaman percakapan teleponnya dengan mantan pemimpin Kamboja Hun Sen bocor ke publik.
Dalam percakapan berdurasi 17 menit tersebut, Paetongtarn terdengar mengkritik langkah militer Thailand dalam sengketa perbatasan. Skandal ini memicu ketegangan antara pemerintah dan militer Thailand.
Paetongtarn yang merupakan perdana menteri termuda dan putri dari mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra kini menghadapi ancaman pemecatan permanen dari jabatannya.
Melonjaknya kekerasan di wilayah perbatasan mendorong Dewan Keamanan PBB untuk menggelar sidang darurat. Seruan untuk gencatan senjata dan dimulainya dialog diplomatik semakin menguat dari berbagai pihak, termasuk ASEAN dan negara-negara mitra di Asia-Pasifik. (red)