Categories: Bisnis

Redenominasi Rupiah: Menkeu Purbaya Lempar Bola ke BI, Ekonom Ingatkan Risiko Inflasi dan Dampak Psikologis

METROTODAY, SURABAYA – Isu redenominasi rupiah kembali mencuat, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa kebijakan tersebut sepenuhnya berada di tangan Bank Indonesia (BI).

Namun, pernyataan ini memicu kekhawatiran dari kalangan ekonom, salah satunya Guru Besar FEB Unair, Prof Dr Wasiaturrahma.

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa rencana redenominasi mata uang rupiah belum akan direalisasikan dalam waktu dekat, meskipun RUU Redenominasi sudah masuk dalam rencana strategis 2025-2029.

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa saat berada di Unair Surabaya, beberapa waktu lalu. (Foto: Ahmad/METROTODAY)

“Soal redenominasi, kebijakan sepenuhnya akan dijalankan oleh bank sentral, yakni dalam hal ini Bank Indonesia. Soal kapannya, ya itu saya belum tahu karena itu semua kebijakan dari bank sentral,” ujar Purbaya, Kamis (13/11).

Purbaya menegaskan kembali bahwa realisasi redenominasi tidak akan dilaksanakan dalam waktu dekat, bahkan bukan di tahun 2026 mendatang.

“Tentu kebijakan redenominasi akan dilaksanakan sesuai kebutuhan bank sentral pada waktu yang tepat,” tegasnya.

Pernyataan ini berbeda dengan pandangan Prof Wasiaturrahma, yang menyatakan sejumlah kekhawatiran mendalam karena langkah yang diambil pemerintah dinilai tidak terlalu mendesak dan justru menyimpan sejumlah risiko bagi perekonomian nasional.

“Tidak ada urgensinya. Sektor bisnis tidak ada yang komplain dan bilang harus redenominasi. Malah bahaya karena banyak barang-barang yang harganya masih seribu dua ribu. Kalo seribu jadi seperak, barang-barang itu susah naik secara pecahan. Akibatnya kalo naik bisa menyebabkan inflasi,” kata Prof Wasiaturrahma.

Lebih lanjut, Prof Rahma juga mengingatkan adanya dampak psikologis yang tidak boleh terabaikan.

Ia menerangkan redenominasi berisiko menimbulkan persepsi kemiskinan yang mendadak di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.

“Juga jangan lupa dampak psikologisnya. 190 juta rakyat kita masih hidup dengan 50 ribu perak per hari. Kalo 50 ribu jadi 50 perak mereka bisa merasa tiba-tiba jadi miskin sekali,” jelasnya.

Ia berharap pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam melontarkan wacana yang mampu memunculkan keresahan publik.

“Saat ini publik mengurus untuk kestabilan keuangan dalam rumah tangganya masing-masing akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi dan tidak tersedianya perluasan kesempatan kerja baru,” pungkasnya. (ahm)

Jay Wijayanto

Recent Posts

Kebakaran di Belakang Aspol Pawiyatan Surabaya, 3 Warung dan 13 Motor Terbakar

Tiga stand warung semi permanen di Jalan Pawiyatan, Surabaya tepatnya belakang Aspol, terbakar, Sabtu (13/12)…

20 hours ago

Profesor Tanpa Gelar

DALAM sebuah momen yang berlangsung sederhana namun sarat makna, di ruang yang hangat dan penuh kekeluargaan,…

20 hours ago

Raperda Hunian Layak di Surabaya Masih Banyak Miss Persepsi, Aturan Rumah Kos Jadi Fokus

Raperda tentang hunian yang layak, yang mencakup kebijakan perencanaan, pengelolaan, tata ruang, dan keberlanjutan hunian…

23 hours ago

PWI Pusat Terbitkan Edaran Soal Rangkap Jabatan, Perpanjangan KTA dan Donasi Kemanusiaan Bencana Sumatera

PWI Pusat menerbitkan tiga Surat Edaran (SE) untuk seluruh anggota se-Indonesia, yakni SE tentang Rangkap…

24 hours ago

Copet Beraksi di Stasiun Surabaya Gubeng Lama, KAI Daop 8 Tingkatkan Keamanan Jelang Nataru

Masyarakat dihebohkan dengan video viral aksi pencopetan di Stasiun Surabaya Gubeng Lama, beberapa waktu lalu.…

1 day ago

Tim Gabungan Unair Bantu Operasi Korban Banjir di RSUD Aceh Tamiang, Begini Langkahnya

Tim gabungan Universitas Airlangga (Unair) yang terdiri dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan,…

1 day ago

This website uses cookies.