25.9 C
Surabaya
8 July 2025, 21:32 PM WIB

Celios Usul Pemangkasan Tarif PPN jadi 9 Persen untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Ini Alasanya

METROTODAY, JAKARTA โ€“ Di tengah upaya pemerintah menggulirkan stimulus ekonomi, Center of Economics and Law Studies (Celios) memberikan usulan yang menarik yakni memangkas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 9 persen pada bulan ini, Juni 2025.

Langkah ini diyakini Celios dapat menjadi โ€œjurus jituโ€ untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sesuai harapan pemerintah di atas 5 persen.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa penurunan tarif PPN akan memberikan ruang bagi masyarakat untuk meningkatkan konsumsi barang dan jasa.

โ€œPenurunan tarif pajak PPN dari 11 persen ke 9 persen bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi karena masyarakat akan membelanjakan uang lebih banyak untuk beli barang dan jasa,โ€ ujarnya dikutip dari Antara di Jakarta, Selasa (3/6).

Lebih lanjut, Bhima optimis bahwa penurunan tarif PPN ini tidak akan serta merta menggerogoti pendapatan negara.

Menurutnya, potensi penurunan penerimaan dari PPN dapat dikompensasi oleh kenaikan setoran pajak lainnya, seperti Pajak Penghasilan (PPh) badan dan PPh 21 karyawan, seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi.

Sektor industri pengolahan, yang menyumbang 25 persen dari total penerimaan pajak, diprediksi akan menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan ini, terutama industri yang berorientasi pada pasar domestik.

Celios mencontohkan beberapa negara yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa. Vietnam, misalnya, menurunkan tarif PPN sebesar 2 persen hingga tahun 2026.

Irlandia juga melakukan pemangkasan tarif PPN pasca-pandemi untuk menstimulus pemulihan daya beli masyarakat, sementara Jerman pernah menurunkan tarif PPN reguler sebesar 3 persen.

Selain PPN, Celios juga mengusulkan pelebaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai langkah komplementer untuk meningkatkan disposable income masyarakat.

โ€œPTKP saat ini Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Idealnya PTKP bisa dinaikkan jadi Rp7-8 juta per bulan karena kelas menengah juga butuh stimulus perpajakan,โ€ kata Bhima.

Usulan ini muncul di tengah peluncuran paket stimulus ekonomi oleh pemerintah senilai Rp24,44 triliun untuk periode Juni-Juli 2025. Paket tersebut mencakup diskon transportasi, tarif tol, tambahan bansos, subsidi upah, dan diskon iuran jaminan kecelakaan kerja.

Namun, Celios menilai paket ini, tanpa adanya diskon tarif listrik 50 persen yang sebelumnya diharapkan, belum cukup kuat untuk mendongkrak daya beli dan konsumsi domestik secara signifikan.

Bhima bahkan melihat adanya โ€œlampu kuningโ€ pelemahan ekonomi pada kuartal II 2025, tercermin dari deflasi yang terjadi pada Mei 2025.

โ€œDeflasi bulan Mei jadi pertanda daya beli sedang lesu, bukan hanya faktor pasca-Lebaran. Misalnya di komponen peralatan rumah tangga terjadi deflasi -0,04 persen mtm. (Komponen) makanan, minuman, tembakau turunnya sampai -1,4 persen mtm,โ€ ungkapnya.

Jika tren permintaan rendah ini berlanjut, Bhima khawatir gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan semakin masif pada paruh kedua tahun ini.

Oleh karena itu, Celios menekankan perlunya paket kebijakan yang lebih komprehensif, termasuk perlindungan industri domestik dari serbuan barang impor dan stimulus perpajakan yang lebih terasa bagi masyarakat, salah satunya melalui pemangkasan tarif PPN. (red)

METROTODAY, JAKARTA โ€“ Di tengah upaya pemerintah menggulirkan stimulus ekonomi, Center of Economics and Law Studies (Celios) memberikan usulan yang menarik yakni memangkas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 9 persen pada bulan ini, Juni 2025.

Langkah ini diyakini Celios dapat menjadi โ€œjurus jituโ€ untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sesuai harapan pemerintah di atas 5 persen.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa penurunan tarif PPN akan memberikan ruang bagi masyarakat untuk meningkatkan konsumsi barang dan jasa.

โ€œPenurunan tarif pajak PPN dari 11 persen ke 9 persen bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi karena masyarakat akan membelanjakan uang lebih banyak untuk beli barang dan jasa,โ€ ujarnya dikutip dari Antara di Jakarta, Selasa (3/6).

Lebih lanjut, Bhima optimis bahwa penurunan tarif PPN ini tidak akan serta merta menggerogoti pendapatan negara.

Menurutnya, potensi penurunan penerimaan dari PPN dapat dikompensasi oleh kenaikan setoran pajak lainnya, seperti Pajak Penghasilan (PPh) badan dan PPh 21 karyawan, seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi.

Sektor industri pengolahan, yang menyumbang 25 persen dari total penerimaan pajak, diprediksi akan menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan ini, terutama industri yang berorientasi pada pasar domestik.

Celios mencontohkan beberapa negara yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa. Vietnam, misalnya, menurunkan tarif PPN sebesar 2 persen hingga tahun 2026.

Irlandia juga melakukan pemangkasan tarif PPN pasca-pandemi untuk menstimulus pemulihan daya beli masyarakat, sementara Jerman pernah menurunkan tarif PPN reguler sebesar 3 persen.

Selain PPN, Celios juga mengusulkan pelebaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai langkah komplementer untuk meningkatkan disposable income masyarakat.

โ€œPTKP saat ini Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Idealnya PTKP bisa dinaikkan jadi Rp7-8 juta per bulan karena kelas menengah juga butuh stimulus perpajakan,โ€ kata Bhima.

Usulan ini muncul di tengah peluncuran paket stimulus ekonomi oleh pemerintah senilai Rp24,44 triliun untuk periode Juni-Juli 2025. Paket tersebut mencakup diskon transportasi, tarif tol, tambahan bansos, subsidi upah, dan diskon iuran jaminan kecelakaan kerja.

Namun, Celios menilai paket ini, tanpa adanya diskon tarif listrik 50 persen yang sebelumnya diharapkan, belum cukup kuat untuk mendongkrak daya beli dan konsumsi domestik secara signifikan.

Bhima bahkan melihat adanya โ€œlampu kuningโ€ pelemahan ekonomi pada kuartal II 2025, tercermin dari deflasi yang terjadi pada Mei 2025.

โ€œDeflasi bulan Mei jadi pertanda daya beli sedang lesu, bukan hanya faktor pasca-Lebaran. Misalnya di komponen peralatan rumah tangga terjadi deflasi -0,04 persen mtm. (Komponen) makanan, minuman, tembakau turunnya sampai -1,4 persen mtm,โ€ ungkapnya.

Jika tren permintaan rendah ini berlanjut, Bhima khawatir gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan semakin masif pada paruh kedua tahun ini.

Oleh karena itu, Celios menekankan perlunya paket kebijakan yang lebih komprehensif, termasuk perlindungan industri domestik dari serbuan barang impor dan stimulus perpajakan yang lebih terasa bagi masyarakat, salah satunya melalui pemangkasan tarif PPN. (red)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/