800 Kilogram Sampah Plastik Ganggu Ekosistem Mangrove Wonorejo Surabaya, Desak Pembangunan Pagar Laut

METROTODAY, SURABAYA – Aksi bersih-bersih mangrove dalam rangka memperingati Hari Mangrove yang digelar pada 26-27 Juli lalu berhasil mengungkap fakta mengejutkan.

Sekitar 800 kilogram sampah plastik berhasil dievakuasi dari kawasan mangrove Wonorejo, Surabaya, oleh gabungan relawan dari Ecoton, Marapaima, River Warrior Indonesia, dan No Waste Surabaya.

Aksi ini fokus pada pembersihan sampah plastik yang menjerat akar mangrove di Kali Brantas, Surabaya dan Gresik.

Alaika Rahmatullah, Koordinator Riset Ecoton, mengungkapkan keprihatinannya atas temuan sampah plastik yang ada di hilir mangrove Wonorejo.

“Selain membersihkan akar mangrove di Wonorejo, kami juga melakukan brand audit sampah plastik dan evakuasi sampah yang menumpuk di pohon-pohon di bantaran Kali Brantas di Gresik dan Sumber Mendit, Malang,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa ratusan kilogram sampah plastik yang ditemukan menunjukkan kegagalan pengelolaan sampah di sepanjang aliran Sungai Brantas. “Pemangku kebijakan gagal mengendalikan sampah plastik yang masuk ke laut. Selama lima tahun terakhir, sampah plastik dari Sungai Brantas terus mencemari Selat Madura dan menyebabkan kematian mangrove di Pantai Timur Surabaya,” tegas Alaika.

Sampah plastik yang ada di hilir mangrove Wonorejo Surabaya yang akan mengalir ke laut ditemukan hingga ratusan kilogram. (Foto: istimewa)

Dominasi sampah sachet dan plastik sekali pakai menjadi sorotan utama. Hasil audit menunjukkan 55 persen sampah plastik berasal dari produk tanpa merek (unbranded), seperti kresek, sedotan, dan styrofoam.

Sisanya berasal dari produsen besar. Program pemerintah untuk mengurangi sampah plastik sebesar 70 persen pun dinilai gagal karena kebocoran sampah dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas.

Alaika juga menyoroti pentingnya mengurangi produksi sampah plastik, bukan hanya mengandalkan daur ulang.

“Meskipun plastik seperti PET dapat didaur ulang, seringkali terkontaminasi sehingga dibuang. Produksi plastik sekali pakai terus meningkat, sementara infrastruktur daur ulang tak mampu mengimbangi,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa Sungai Brantas menjadi jalur kritis transportasi sampah plastik dari hulu ke hilir, terbukti dari temuan sampah plastik di Sumber Mendit, Malang yang akhirnya sampai ke pesisir timur Surabaya.

Aeshnina, Captain River Warrior, menggambarkan sulitnya membersihkan sampah plastik yang sudah menyatu dengan akar mangrove. “Sulit dibersihkan sebetulnya karena banyak sekali sampah plastik,” ujarnya.

Sementara itu, Meylisa Rheinia Lumintang, mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang, mengingatkan ancaman tersembunyi dari mikroplastik yang mencemari rantai makanan laut dan berpotensi membahayakan kesehatan manusia.

Menyikapi kondisi ini, para relawan menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah dan pihak terkait:

1. Pembangunan pagar laut untuk mencegah sampah plastik masuk ke ekosistem mangrove.

2. Optimalisasi pengelolaan sampah di hulu Sungai Brantas.

3. Pelarangan plastik sekali pakai tertentu seperti kresek, sedotan, styrofoam, dan sachet multilayer.

4. Penguatan kolaborasi antara pemerintah, komunitas lokal, dan produsen dalam program pengurangan plastik sekali pakai.

5. Penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) secara ketat oleh produsen.

Aksi bersih-bersih ini menjadi pengingat penting akan urgensi pengelolaan sampah yang lebih efektif dan berkelanjutan untuk melindungi lingkungan dan kesehatan masyarakat. (ahm)

METROTODAY, SURABAYA – Aksi bersih-bersih mangrove dalam rangka memperingati Hari Mangrove yang digelar pada 26-27 Juli lalu berhasil mengungkap fakta mengejutkan.

Sekitar 800 kilogram sampah plastik berhasil dievakuasi dari kawasan mangrove Wonorejo, Surabaya, oleh gabungan relawan dari Ecoton, Marapaima, River Warrior Indonesia, dan No Waste Surabaya.

Aksi ini fokus pada pembersihan sampah plastik yang menjerat akar mangrove di Kali Brantas, Surabaya dan Gresik.

Alaika Rahmatullah, Koordinator Riset Ecoton, mengungkapkan keprihatinannya atas temuan sampah plastik yang ada di hilir mangrove Wonorejo.

“Selain membersihkan akar mangrove di Wonorejo, kami juga melakukan brand audit sampah plastik dan evakuasi sampah yang menumpuk di pohon-pohon di bantaran Kali Brantas di Gresik dan Sumber Mendit, Malang,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa ratusan kilogram sampah plastik yang ditemukan menunjukkan kegagalan pengelolaan sampah di sepanjang aliran Sungai Brantas. “Pemangku kebijakan gagal mengendalikan sampah plastik yang masuk ke laut. Selama lima tahun terakhir, sampah plastik dari Sungai Brantas terus mencemari Selat Madura dan menyebabkan kematian mangrove di Pantai Timur Surabaya,” tegas Alaika.

Sampah plastik yang ada di hilir mangrove Wonorejo Surabaya yang akan mengalir ke laut ditemukan hingga ratusan kilogram. (Foto: istimewa)

Dominasi sampah sachet dan plastik sekali pakai menjadi sorotan utama. Hasil audit menunjukkan 55 persen sampah plastik berasal dari produk tanpa merek (unbranded), seperti kresek, sedotan, dan styrofoam.

Sisanya berasal dari produsen besar. Program pemerintah untuk mengurangi sampah plastik sebesar 70 persen pun dinilai gagal karena kebocoran sampah dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas.

Alaika juga menyoroti pentingnya mengurangi produksi sampah plastik, bukan hanya mengandalkan daur ulang.

“Meskipun plastik seperti PET dapat didaur ulang, seringkali terkontaminasi sehingga dibuang. Produksi plastik sekali pakai terus meningkat, sementara infrastruktur daur ulang tak mampu mengimbangi,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa Sungai Brantas menjadi jalur kritis transportasi sampah plastik dari hulu ke hilir, terbukti dari temuan sampah plastik di Sumber Mendit, Malang yang akhirnya sampai ke pesisir timur Surabaya.

Aeshnina, Captain River Warrior, menggambarkan sulitnya membersihkan sampah plastik yang sudah menyatu dengan akar mangrove. “Sulit dibersihkan sebetulnya karena banyak sekali sampah plastik,” ujarnya.

Sementara itu, Meylisa Rheinia Lumintang, mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang, mengingatkan ancaman tersembunyi dari mikroplastik yang mencemari rantai makanan laut dan berpotensi membahayakan kesehatan manusia.

Menyikapi kondisi ini, para relawan menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah dan pihak terkait:

1. Pembangunan pagar laut untuk mencegah sampah plastik masuk ke ekosistem mangrove.

2. Optimalisasi pengelolaan sampah di hulu Sungai Brantas.

3. Pelarangan plastik sekali pakai tertentu seperti kresek, sedotan, styrofoam, dan sachet multilayer.

4. Penguatan kolaborasi antara pemerintah, komunitas lokal, dan produsen dalam program pengurangan plastik sekali pakai.

5. Penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) secara ketat oleh produsen.

Aksi bersih-bersih ini menjadi pengingat penting akan urgensi pengelolaan sampah yang lebih efektif dan berkelanjutan untuk melindungi lingkungan dan kesehatan masyarakat. (ahm)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/