METROTODAY, TOKYO – Krisis iklim semakin nyata dirasakan oleh negara kecil Tuvalu di Pasifik Selatan. Lebih dari 4.000 warga atau setara dengan 42 persen dari total populasi Tuvalu, telah mengajukan permohonan visa migrasi ke Australia akibat ancaman naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global yang kian menggerus daratan mereka.
Negara berpenduduk sekitar 9.600 jiwa itu kini berada dalam tekanan eksistensial. Permukaan daratannya yang rata-rata hanya dua meter di atas permukaan laut membuat Tuvalu menjadi salah satu negara pertama yang secara harfiah bisa tenggelam akibat perubahan iklim.
Pemerintah Australia telah menawarkan jalur legal berupa visa migrasi iklim melalui skema “Falepili Union”, yang membuka kesempatan bagi 280 warga Tuvalu setiap tahun untuk menetap di Australia.
Sejak pendaftaran dibuka pertengahan Juni lalu, tercatat 1.124 orang mendaftar secara langsung, dan jumlah itu membengkak hingga 4.052 jika termasuk anggota keluarga mereka.
Visa tersebut diberikan melalui sistem undian, dan pengajuan resmi baru dapat dilakukan setelah pemohon terpilih pada akhir periode pendaftaran, yaitu 18 Juli.
“Tingginya minat ini menunjukkan bahwa masyarakat Tuvalu menyadari betapa gentingnya situasi yang mereka hadapi,” ujar Jess Marinaccio, mantan pejabat luar negeri Tuvalu yang kini menjadi akademisi di California State University.
Namun, lonjakan permohonan ini memunculkan kekhawatiran bahwa eksodus besar-besaran dapat terjadi dalam beberapa dekade ke depan, yang bisa mengakibatkan negara tersebut kehilangan sebagian besar populasinya.
Jika tren ini terus berlanjut, populasi Tuvalu bisa menyusut drastis dalam waktu kurang dari 35 tahun.
Meski program migrasi iklim dimaksudkan sebagai solusi dua ara agar warga Tuvalu bisa belajar dan memperoleh keahlian di Australia untuk kemudian kembali ke tanah air, kenyataannya mayoritas dari mereka mengajukan visa untuk menetap jangka panjang, seiring dengan menurunnya harapan akan kelangsungan hidup di pulau mereka.
Kondisi geografis Tuvalu yang terdiri dari sembilan atol karang sangat rentan terhadap naiknya permukaan laut.
Menurut Tim Pemantau Perubahan Air Laut NASA, dalam 30 tahun terakhir, permukaan laut di Tuvalu naik sekitar 15 cm. Angka ini 1,5 kali lebih tinggi dibanding rata-rata global.
Proyeksi tahun 2050 menunjukkan bahwa sebagian besar dari 26 kilometer persegi wilayah daratan Tuvalu, termasuk infrastruktur vital, akan berada di bawah rata-rata pasang laut.
Meski demikian, pemerintah Tuvalu masih berusaha mempertahankan kedaulatan wilayahnya melalui berbagai langkah adaptasi. Seperti proyek reklamasi dan penguatan pesisir. Mereka berharap, migrasi tidak menjadi satu-satunya pilihan.
Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Di tengah badai perubahan iklim global, Tuvalu menjadi contoh tragis bahwa ancaman tenggelamnya sebuah negara bukan lagi fiksi ilmiah. (ahm)