METROTODAY, SURABAYA – Bayangkan sebuah malam yang syahdu di salah satu sudut taman kota Surabaya. Pukul 22.00 WIB, lampu-lampu taman yang remang-remang mulai menyoroti bangku-bangku kosong yang sebelumnya ramai dengan tawa dan obrolan.
Namun, masih ada beberapa siluet anak-anak dan remaja yang terlihat asyik dengan ponselnya, berpasangan di bangku, atau berkelompok kecil di sudut-sudut yang lebih gelap.
Di kejauhan, sebuah jam dinding besar yang terpampang di sebuah menara kecil di pusat taman menunjukkan tepat pukul 22.00 WIB.
Jarum panjangnya menunjuk angka dua belas, dan jarum pendeknya tepat di angka sepuluh, seolah menjadi penanda dimulainya “jam pulang” bagi mereka yang berusia di bawah umur.
Tak lama berselang, dari arah yang berbeda, terlihat beberapa sosok berompi yang mulai memasuki area taman.
Mereka adalah petugas Satgas RW yang baru saja dibentuk, bergerak dengan tenang namun sigap.
Di antara mereka, ada juga beberapa anggota Satpol PP yang mendampingi. Wajah mereka menunjukkan ketegasan, namun juga tersirat kepedulian.
Salah satu kelompok remaja yang sedang asyik bercanda tiba-tiba terdiam saat menyadari kehadiran petugas. Mereka mencoba untuk beringsut pergi, namun jalur mereka sudah terhalang. Petugas dengan ramah namun tegas menghampiri mereka.
“Selamat malam, adik-adik. Maaf, sudah pukul sepuluh malam. Ini waktunya kalian pulang ke rumah,” ujar salah seorang petugas Satgas RW dengan suara yang tenang.
Seorang anak laki-laki yang sedang membonceng dua teman perempuannya tanpa helm di taman, seketika menghentikan motornya.
Raut wajahnya menunjukkan sedikit kebingungan dan rasa bersalah. Petugas segera menghampiri mereka, menanyakan identitas dan tujuan mereka berada di luar pada jam tersebut.
Di sudut lain, sepasang remaja yang sedang berpacaran di bangku taman tampak canggung saat dihampiri petugas. Mereka langsung menunduk. Petugas dengan sopan menanyakan apakah orang tua mereka mengetahui keberadaan mereka di sana.
Tidak ada bentakan, tidak ada ancaman sanksi administratif. Yang ada hanyalah dialog persuasif dan pengarahan untuk segera pulang.
Bagi mereka yang terjaring, petugas mencatat identitas dan akan menghubungi orang tua atau bahkan mengantar langsung ke rumah untuk memastikan mereka sampai dengan aman dan mendapatkan pembinaan.
Ilustrasi ini menunjukkan bahwa sweeping jam malam di Surabaya bukanlah upaya represif, melainkan sebuah gerakan kolaboratif yang mengedepankan pembinaan dan perlindungan terhadap anak-anak.
Ada peran aktif dari orang tua, Satgas RW, pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga generasi muda dari risiko negatif di luar rumah pada malam hari.
Sebuah langkah preventif untuk membentuk karakter dan akhlakul karimah anak-anak Surabaya sejak dini. (red)