METROTODAY, ARAFAH – Puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) sudah dimulai. Sejak 4 Juni, jemaah mulai bergerak ke Arafah. Di tengah antusiasme spiritual ini, data menunjukkan bahwa 150 jemaah Indonesia telah wafat sejak awal kedatangan di Tanah Suci. Mayoritas adalah pria (62%) dan kelompok lansia (54%), dengan usia 41–64 tahun menyumbang 46% dari total.
Angka ini menjadi pengingat serius akan pentingnya perlindungan kesehatan selama puncak haji. Kementerian Kesehatan, melalui Pusat Kesehatan Haji, telah mengerahkan kekuatan layanan yang terencana dan terintegrasi di titik-titik krusial Armuzna.
Kepala Pusat Kesehatan Haji, Liliek Marhaendro Susilo, menegaskan bahwa kehadiran negara dalam pelayanan kesehatan adalah sebuah kewajiban moral dan konstitusional.
“Sebanyak 192 petugas kesehatan haji, 1.044 tenaga kesehatan kloter (TKHK), 14 ambulans, serta logistik obat dan perbekalan telah disiagakan. Distribusi ke Arafah dan Mina dimulai hari ini,” ujar Liliek dalam pertemuan daring seperti dilansir dari laman Kementerian Kesehatan pada Kamis (5/6).
Pelayanan kesehatan di Armuzna mencakup konsultasi dokter umum dan spesialis, fasilitas rujukan, sistem pendataan digital (Siskohatkes), serta edukasi kesehatan. Kepala Bidang Kesehatan PPIH Arab Saudi, dr. Mohammad Imran, juga menekankan pentingnya penggunaan masker di dalam tenda karena padatnya jemaah dan risiko penyakit ISPA akibat debu.
“Haji itu rukunnya di Arafah. Jangan memaksakan diri, terutama saat melempar jumrah. Di sana tidak ada klinik atau tempat istirahat,” imbuh Imran.
Tak kalah penting, Dirjen SDM Kesehatan dan Ketua Tim Asistensi PPIH Arab Saudi Bidang Kesehatan, dr. Yuli Farianti, M.Epid, meminta agar tenaga kesehatan tidak lupa menjaga kondisi fisik mereka sendiri. “Atur pola makan, minum cukup, dan tetap edukasi jemaah, terutama lansia. Lebih baik mereka beribadah di tenda jika kondisi tidak memungkinkan,” pesan Yuli.
Namun, sistem delapan syarikah penyelenggara layanan haji yang ditetapkan Kementerian Agama juga membawa tantangan tersendiri. Ada petugas kesehatan yang menangani hingga 800 jemaah seorang diri. Situasi ini menyebabkan beban kerja yang berat dan mengharuskan kolaborasi antartim untuk mengisi kekosongan di kloter-kloter yang kekurangan tenaga.
Di tengah ikhtiar besar ini, angka kematian jemaah menjadi refleksi bahwa haji bukan sekadar perjalanan spiritual, melainkan juga perjuangan fisik yang berat. Oleh karena itu, kesiapan layanan kesehatan dan kesadaran menjaga diri menjadi kunci keselamatan seluruh jemaah hingga akhir rangkaian ibadah.(*)